Oleh : Dita Widi Atmaja
PENDAHULUAN
Produk pascapanen
merupakan bagian tanaman
yang dipanen dengan berbagai
tujuan terutama untuk memberikan nilai
tambah dan keuntungan
bagi petani maupun konsumen (Wagianto, 2008). Produk pascapanen yang
disimpan di dalam gudang tradisional maupun
gudang modern sering mendapat gangguan
dari serangga hama. Gangguan tersebut dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan dan kehilangan
berat bahan.
Menurut FAO (1974) dalam Manueke(1993) Kerusakan
pada bahan pascapanen
atau bahan simpanan sangat
berarti dan mempunyai nilai penting dalam arti ekonomi
karena: (1) bahan tersebut siap
dikonsumsi, (2) menghabiskan
biaya yang cukup banyak
yaitu mulai dari
pembenihan, pengolahan tanah,
penanaman, pemeliharaan dan panen. Jadi, kerusakan
yang sedikit pada
bahan pascapanen sudah merupakan
kerugian yang besar dibandingkan
dengan serangan organisme pengganggu pada
tanaman dipertanaman. Selain itu
akibat lain dari
adanya infestasi yang mengakibatkan terjadinya
perubahan pada bahan pascapanen seperti
perubahan warna dan
rasa serta bau yang
tidak enak atau terkontaminasi dengan penyakit
yang terbawa oleh
organisme tersebut.
Serangga yang paling
banyak anggotaanggotanya sebagai
hama pascapanen adalah dari ordo
Coleoptera, ordo
Lepidoptera, ordo
Hymenoptera, dan ordo
Hemiptera. Dari keempat ordo serangga
tersebut Ordo Coleoptera
adalah kelompok serangga yang
terbanyak memiliki anggota-anggotanya sebagai
hama pascapanen (Pranata,1982;
Munro, 1986). Menurut Pranata (1982), beberapa hama penting yang merusak
komoditi beras di Indonesia antara lain, Sitophilus oryzae (Coleoptera; Curculionidae),
Rhizopertha dominica (Coleoptera;
Bostrychidae), Tribolium castaneum
(Coleoptera; Tenebrionidae), Cryptolestes
ferrugineus (Coleoptera; Cucujidae), Tenebroides mauritanicus (Coleoptera; Trogosstidae), dan Corcyra cephalonica (Lepidoptera;
Pyralidae).
Seiring dengan meningkatnya kesadaran terhadap bahaya
lingkungan yang ditimbulkan oleh pestisida kimia, keinginan untuk menciptakan
pestisida alami (bio-pesticide) mengalami peningkalan. Sampai saat ini sebagian
besar pestisida yang beredar di pasaran mengandung bahan aktif berbahaya
seperti klorpyrifos, irnidacloprid, phoxim, fanvalerate, dan diazinon.
Penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya secara luas sangat membahayakan kesehatan manusia dan
lingkungan (FQPA, 1996; NRC,1993; Wright, dkk., 1994). Selain itu, kimia
berbahaya tersebut juga mengancam kualitasair di berbagai area (Johnson. 1994).
Pemanfaatan pestisida alami sebagai sebuah teknologi alternatif dalam program
Pengendalian Hama Gudang Penyimpanan Hasil PanenTerpadu (Integrated StoredPest
Control) sangat potensial diusulkan sebagai pengganti dari penggunaan pestisida
kimia yang telah diketahui memiliki dampak negatif sangat luas bagi sistem
ekologi pertanian dan manusia(Whitten, 1992). Pemanfaatan biopestisida yang
ramah lingkungan, diharapkan memiliki spektrum yang sangat luas mencakup
pengendalian seluruh serangga hama yang menyerang produk pertanian yang
disirnpan. Salah satu bahan alam yang dilaporkan memiliki aktifitas pestisida
adalah tanaman tembakau.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan
biopestisida yang efektif dari bahan limbah tembakau di kebun PTPN X. Pengambilan ekstrak tembakau dilakukan dengan mengacu
pada metode analisa nikotin sesuai SNI 01-7134-2006 yang telah dimodifikasi dengan tujuan untuk mendapatkan nikotin cair. Aplikasi ekstrak cair tembakau dilakukan dengan cara diuapkan
dengan elektronik vaporizer.
Pengujian dilakukan didalam ruangan dengan luas 25 M². Bahan
tembakau yang diekstrak adalah limbah tanaman tembakau milik kebun di PTPN X
yang berupa pucuk dan bunga tembakau yang sudah dikeringkan terlebih dahulu. Hama
gudang yang digunakan adalah Corcyra cephalonica dalam fase imago.
Percobaan terdiri dari 1 perlakuan (perlakuan uap ekstrak tembakau) dan 1
kontrol (tanpa perlakuan) dilakukan dengan 3 ulangan. Masing-masing ulangan
dengan 20 serangga uji. Semua perlakuan diamati setiap 30 menit, dicatat jumlah
penggerek batang yang mati.
Elektronik vaporizer dinyalakan selama 6 jam untuk mengetahui volume ekstrak
tembakau yang menguap selama 6 jam. Alat yang digunakan antara lain; kerodong,
elektronik vaporizer dan alat tulis.
HASIL dan PEMBAHASAN
Teknologi yang digunakan dalam melakukan ekstrak tembakau cukup sederhana, dengan metode ini akan didapatkan ekstrak berupa nikotin cair dengan harapan nikotin cair ini dapat
diaplikasikan secara diuapkan menggunakan elektronik vaporizer. Cara aplikasi
ekstrak tembakau ini merupakan suatu inovasi baru
dengan
harapan dapat melindungi dari serangan hama pasca
panen dalam waktu yang lama.
Pada
pelaksanaan percobaan, imago dari Corcyra
cephalonica diletakan
didalam kerodong dari bahan kelambu dengan tujuan serangga tidak terbang
sehingga dapat diketahui angka kematiannya. Percobaan dilakukan dengan
membandingkan antara kerodong yang didekatkan dengan ekstrak tembakau yang
diuapkan dengan kerodong yang tidak diaplikasi pestisida (gambar 1)
Gambar
1. Kerodong berisi imago Corcyra
cephalonica dengan
perlakuan ekstrak tembakau yang diuapkan
Setelah dilakukan pengamatan selama 3 jam 30 menit maka didapatkan
rata-rata kematian Corcyra
cephalonica sebagai
berikut (tabel 1)
Percobaan menunjukan semua Corcyra cephalonica dengan perlakuan ekstrak tembakau pada semua ulangan mati
setelah 3 jam 30 menit sedangkan pada kontrol semua Corcyra cephalonica tetap hidup setelah 3 jam 30 menit. Hasil ini menunjukan
bahwa pemanfaatan ekstrak tembakau dengan cara diuapkan dapat digunakan sebagai
cara pengendalian hama gudang khususnya pada imago Corcyra cephalonica. Penggunaan ekstrak tembakau dengan diuapkan di gudang
penyimpanan diharapkan dapat mencegah terjadinya perkawinan atau peletakan
telur dari hama gudang khususnya Corcyra
cephalonic,
dengan pencegahanan ini berarti dapat mencegah kerusakan hasil panen yang
disebabkan dari larva Corcyra
cephalonica. Percobaan ini dilakukan dalam ruangan seluas
25 m², untuk uji efektifitas dengan ruangan yang lebih luas masih perlu
dilakukan percobaan lanjutan. Setelah elektronik vaporizer dinyalakan dalam
waktu 6 jam larutan ekstrak tembakau berkurang 0.4 ml sehingga diharapkan larutan sebanyak 48 ml
dapat dipakai selama 30 hari.
KESIMPULAN
Pada perlakuan ekstrak tembakau dengan cara diuapkan
menunjukan 20 imago Corcyra
cephalonica mati dalam 3 jam 30 menit setelah
aplikasi pada semua ulangan sedangkan pada kontrol
semua imago Corcyra cephalonica
tetap hidup setelah 3
jam 30
menit.
Dalam
waktu 6 jam setelah aplikasi, larutan ekstrak tembakau berkurang 0.4 ml
sehingga diharapkan
larutan sebanyak 48 ml dapat dipakai selama 30 hari. Hal ini menjadikan penggunaan ekstrak tembakau dengan
cara ini sebagai aplikasi biopestisida slow release.
DAFTAR PUSTAKA
Wagianto, 2008. http://www.fkm.undip.ac.id/data/ index.php?action=4&idx=508. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2009.
Manueke, J.
1993. Kajian Pertumbuhan
Populasi Sitophilus oryzae dan
Tribolium castaneum dan Kerusakan yang Ditimbulkannya Pada Tiga Varietas Beras.
Tesis S2 Program Pasca
Sarjana Universitas Gajah Mada. Yogyakarta
Munro, J. W. 1986. Pest of Stored. Hutchinson and Co.
Ltd. London 45 – 58 p.;
Pranata, I. R.
1982. Masalah Susut Akibat Serangan Hama
Pascapanen. Direktorat
Perlindungan Tanaman Pangan. Coaching Pengendalian Hama
Gudang. Cisama. Bogor.
FQPA (Food Quality Protection Act). 1996. IPM Practitioner18(10):10-13.
Johnson. W2004. DiazinonandPesticideRelated Toxicity in
Bay Area Urban Creeks: Water Quality Attainment Strategy and Total Maximum Daily
Load (TMDL). Final Project Report. California Regional Water Quality Board San Francisco
Bay Region, March 2004, 1515 Clay St.Oakland.CA.120pp
Whitten.M.J. 1992, Pest managementin 2000:
whatwemightlearn from the twentieth century,p. 9-44. dalam A.A.S.A Kadir (ed),
Pest managementand the environment in 2000 CAB.I. Wallingford.