Pages

Wednesday 5 March 2014

SAATNYA MEMANTAU TEBU DARI UDARA !



 
SAATNYA MEMANTAU TEBU DARI UDARA !
 
Oleh :
Sandi Gunawan, S.Si.
Pusat Penelitian Gula Jengkol
 

Gula merupakan komoditas pangan strategis dan termasuk satu dari sembilan bahan pokok bagi masyarakat Indonesia. Proyeksi kebutuhan gula nasional tahun 2014 adalah sekitar 5,7 juta ton yang terdiri dari 2,96 juta ton dengan kualitas Gula Kristal Putih (GKP) untuk kebutuhan rumah tangga dan 2,74 juta ton Gula Kristal Rafinasi (GKR) untuk kebutuhan industri. Memang, sampai saat ini produksi gula di Indonesia lebih rendah dibandingkan konsumsinya, sehingga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tersebut pemerintah masih harus mengimpor gula dari negara lain. Jika asumsi produksi gula nasional tahun 2014 sama dengan tahun 2013 sebanyak 2,54 juta ton, berarti masih ada kekurangan sekitar 420.000 ton gula konsumsi langsung rumah tangga yang harus dipenuhi pemerintah melalui kran impor (Ditjenbun, 2013). Pemerintah sebenarnya telah mencanangkan program revitalisasi peningkatan produktivitas gula nasional dengan sasaran tercapainya swasembada gula pada tahun 2014. Namun, beberapa program dan sasaran pencapaian swasembada gula belum sepenuhnya tercapai maksimal seperti perluasan lahan, pembangunan pabrik baru, dan revitalisasi pabrik gula.

Sebagai market leader di industri gula nasional dimana pada tahun 2013 PTPN X memberikan kontribusi sebesar 19,11% terhadap produksi gula nasional atau sekitar 485.472 ton, PTPN X turut terpacu untuk terus berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan gula nasional. Berbagai upaya peningkatan produksi gula terus dilakukan, baik di sisi manajemen on farm maupun off farm. Di sisi on farm, peningkatan produktivitas tanaman tebu terus digalakan antara lain melalui penggunaan varietas unggul, pengendalian hama penyakit, penggunaan pupuk yang berimbang, penerapan mekanisasi, serta penerapan teknologi informasi seperti sistem informasi geografis kebun (SIG). Penerapan teknologi informasi seperti SIG menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar lagi. Kebutuhan akan data yang akurat, valid, dan up to date mengenai manajemen on farm seperti luas areal, varietas, masa tanam, kemasakan, dan estimasi produksi tebu sangat penting bagi manajemen dalam menentukan langkah dan kebijakan terkait produksi gula.
Salah satu kunci keberhasilan dalam proses produksi gula adalah akurasi data tentang ketersediaan dan mutu bahan baku tebu bagi pabrik gula. Kurangnya pasokan bahan baku tebu yang selalu ditemui setiap masa giling mengharuskan adanya sistem yang akurat dan menjamin ketersediaan pasokan bahan baku tebu sejak jauh hari sebelum giling meliputi luas areal, varietas, masa tanam, umur tebu, kemasakan tebu, sampai estimasi atau taksasi produksi tebu. Selama ini, metode taksasi potensi produksi dan ketersediaan bahan baku tebu masih dilakukan dengan pendekatan lapangan (konvensional) yaitu taksasi secara visual dan taksasi metode sampling. Taksasi secara visual dilakukan dengan cara mengamati pertumbuhan dan menaksir langsung potensi produksi tebu berdasarkan pandangan mata petugas kebun (mandor, kemetir, asisten manajer) yang berpengalaman. Sedangkan, taksasi metode sampling dilakukan dengan cara mengambil perwakilan beberapa juring dan melakukan pengamatan terhadap komponen produksi meliputi tinggi batang, jumlah batang per juring, berat batang per meter, dan jumlah juring per hektar yang nantinya dimasukkan dalam perhitungan matematis tertentu.
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan metode taksasi yang selama ini dilakukan. Namun, metode taksasi secara visual yang mengandalkan “DarTo” alias Radar Moto (baca : Radar Mata) petugas kebun memiliki faktor bias yang cukup tinggi dan bersifat subyektif. Bisa jadi hasil taksiran antara petugas kebun yang baru bekerja di kebun selama 5 tahun dengan petugas yang sudah berpengalaman selama 20 tahun bisa berbeda, sehingga angka kuantitatif penafsiran potensi produksi menjadi bias dan bersifat subyektif. Oleh karena itu, perlu adanya metode alternatif dalam taksasi produksi tebu termasuk inventarisasi sebaran dan luas lahan, serta monitoring pertumbuhan tebu, salah satunya yaitu dengan penerapan teknologi penginderaan jauh (remote sensing).

Apa Itu Teknologi Penginderaan Jauh ?
Penginderaan jauh atau dalam bahasa Inggris disebut remote sensing merupakan suatu ilmu atau teknologi untuk memperoleh informasi atau fenomena alam melalui analisis suatu data yang diperoleh dari hasil rekaman obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Perekaman atau pengumpulan data penginderaan jauh (inderaja) dilakukan dengan menggunakan alat pengindera berupa kamera atau sensor yang biasanya dipasang pada suatu wahana seperti pesawat terbang, helikopter, satelit, hingga pesawat tanpa awak (Unmanned Aerial Vehicle/UAV) atau pesawat aeromodelling (Lillesand dan Kiefer, 1994). Data yang dihasilkan berupa data visual atau biasa disebut citra, tergantung dari wahana yang digunakan apakah menggunakan pesawat terbang (foto udara) atau satelit (citra satelit). Perkembangan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis menawarkan solusi dalam penerapan pertanian presisi (precision agriculture) yang memungkinkan pengelolaan lahan secara tepat untuk mendapatkan produktivitas tanaman tebu yang optimal. Penyajian informasi mengenai sebaran dan luas areal, kondisi dan pertumbuhan tanaman tebu, kemasakan, taksasi produksi, dan informasi lainnya dapat dilakukan dengan cepat, tepat, akurat, dan objektif.
 Pemanfaatan citra satelit maupun foto udara untuk monitoring sumber daya lahan pertanian mulai marak sejak tahun 1972, ketika Amerika Serikat meluncurkan satelit pengamatan sumber daya alam bernama ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite-1), yang kemudian diberi nama baru menjadi Landsat-1. Saat ini, telah beredar banyak jenis satelit pengamatan sumber daya yang diluncurkan oleh berbagai negara dengan kemampuan dan resolusi spasial yang beragam, dari resolusi sekitar satu meter atau kurang  seperti satelit IKONOS, OrbView, QuickBird dan GeoEye milik perusahaan swasta Amerika Serikat, 10 meter atau kurang (SPOT milik Perancis, COSMOS milik Rusia, IRS milik India dan ALOS milik Jepang), 15-30 meter (ASTER yang merupakan proyek kerjasama Jepang dan NASA,  Landsat 7 ETM+ milik Amerika Serikat, yang sayangnya mengalami kerusakan sejak tahun 2003), 50 meter (MOS, milik Jepang), 250 dan 500 meter (MODIS milik Jepang) hingga 1,1 km seperti satelit NOAA-AVHRR milik Amerika Serikat (Danoedoro, 2012).

Berbagai metode penginderaan jauh untuk reinventarisasi, monitoring, dan estimasi produktivitas tanaman tebu. (Sumber : Majalah Sains Indonesia Edisi 03 - Maret 2012).


Pesawat Tanpa Awak : Ringkas dan Efisien !
Pada awal perkembangannya di Indoensia, penerapan penginderaan jauh hanya memanfaatkan citra satelit dan foto udara yang dilakukan dengan menggunakan pesawat terbang maupun helikopter. Selain memakan biaya yang  tinggi, pengambilan citra satelit seringkali terkendala oleh tutupan awan, waktu pengambilan dan lokasi data yang dibutuhkan tidak fleksibel karena tergantung lintasan orbit satelit sehingga data tidak real time dan informasi terlambat diperoleh. Setali tiga uang, penggunaan pesawat terbang maupun helikopter untuk pengambilan foto udara memakan biaya yang tinggi. Biaya sewa helikopter per jam sekitar 10-17 juta rupiah, sedangkan pesawat terbang kecil jenis Cessna sekitar 20-30 juta rupiah tergantung lama sewa dan lainnya. Kini wahana pengambilan foto udara semakin beragam, salah satunya adalah pesawat tanpa awak (Unmanned Aerial Vehicle/UAV). Pemotretan udara dengan menggunakan pesawat tanpa awak merupakan salah satu teknologi alternatif untuk mendapatkan data yang real time, cepat, murah, serta memiliki resolusi spasial yang lebih tinggi dan jelas dibandingkan citra satelit karena kemampuan terbangnya pada ketinggian 50-300 meter sehingga pengambilan foto tidak tergangggu oleh tutupan awan.
Perkembangan teknologi informasi dan elektronika yang semakin maju, membuat pesawat tanpa awak semakin canggih dan pintar. Pesawat tanpa awak dapat dikendalikan secara autonomous dengan sistem navigasi otomatis. Manakala akan terbang, sebelumnya rencana jalur terbang (flight plan) dapat dijejalkan pada “otak”-nya, sehingga pesawat akan terbang secara otomatis mengikuti jalur terbang dan mengambil foto pada titik-titik yang sudah ditentukan. Selain itu, operator hanya memantau dan mengambil data melalui stasiun pengontrol di darat (ground control station) secara real time. Kemampuan pesawat tanpa awak untuk menggotong beban yang dapat mencapai 1-6 kg tergantung spesifikasi dan jenis pesawat dapat digunakan untuk mengangkut berbagai jenis kamera atau sensor sesuai kebutuhan.
Luas keseluruhan lahan tebu PTPN X yang mencapai 77.788 hektar pada tahun 2013, memiliki karakteristik lahan yang beragam. Sekitar 95% dari keseluruhan luas areal tebu PTPN X merupakan Tebu Rakyat (TR) atau lahan milik petani dengan karakteristik luasan lahan kecil, berpetak-petak, dan tersebar. Sehingga, mapping lahan dan monitoring pertumbuhan serta estimasi produksi tebu menggunakan pesawat tanpa awak yang kecil dan ringkas akan lebih efektif dan efisien. 

 
Foto udara kebun tebu Pabrik Gula Takalar, Sulawesi Selatan, layering di Google Earth.
(Sumber gambar : dokumentasi Capung Aerial Photo and Video)



Foto Udara + SIMBUN/SIG + SIPG On Farm & Off Farm = Integrated Early Warning System Produksi Gula PTPN X
Pengembangan Sistem Informasi Produksi Gula (SIPG) On Farm maupun Off Farm yang sedang dilaksanakan oleh bagian Teknologi Informasi Sekretaris Perusahaan PTPN X serta pengembangan Sistem Informasi Geografis Kebun (SIG/SIMBUN) oleh Divisi Quality Control dan Pengembangan Lahan perlu diapresiasi dan didukung sepenuhnya oleh seluruh jajaran mulai dari mandor kebun sampai tingkat manajemen. Semakin menyempitnya lahan pertanian dari waktu ke waktu, mengharuskan kita untuk memaksimalkan setiap petak lahan yang ada dengan penggunaan teknologi pertanian yang presisi. Foto udara dapat dijadikan sebagai metode alternatif dalam inventarisasi lahan, monitoring pertumbuhan tanaman tebu, serta taksasi bahan baku tebu bagi pabrik gula. Implementasi pengintegrasian foto udara dengan SIG dan SIPG On Farm bukanlah hal yang mustahil, dan ini akan menjadikannya sebagai suatu sistem deteksi dini yang terpadu (Integrated Early Warning System) dan saling melengkapi sehingga dapat dijadikan data acuan yang akurat, valid, objektif, dan up to date bagi manajemen dalam pengambilan keputusan dan perencanaan produksi gula. Semoga !





DAFTAR PUSTAKA

Danoedoro, P. 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Ditjenbun, 25 Mei 2013, “Dirjenbun : kebutuhan gula nasional mencapai 5,700 juta ton tahun 2014”, diunduh dari http://ditjenbun.deptan.go.id/setditjenbun/berita-172-dirjenbun--kebutuhan-gula-nasional-mencapai-5700-juta-ton-tahun-2014.html, tanggal 28 Pebruari 2014.
Lillesand, T. M. dan R. W. Kiefer. 1994. Penginderaan Jauh dan lnterpretasi Citra. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.