SAATNYA MEMANTAU TEBU DARI UDARA !
Oleh :
Sandi Gunawan, S.Si.
Pusat Penelitian Gula
Jengkol
Gula
merupakan komoditas pangan strategis
dan termasuk satu dari sembilan bahan pokok bagi masyarakat
Indonesia. Proyeksi kebutuhan gula nasional tahun 2014 adalah
sekitar 5,7 juta ton yang terdiri dari 2,96 juta ton dengan kualitas Gula Kristal
Putih (GKP) untuk kebutuhan rumah tangga dan 2,74 juta ton Gula Kristal Rafinasi
(GKR) untuk kebutuhan industri. Memang, sampai saat ini produksi gula di Indonesia lebih rendah dibandingkan konsumsinya, sehingga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tersebut pemerintah masih harus mengimpor gula dari negara lain. Jika asumsi produksi gula nasional
tahun 2014 sama dengan tahun 2013 sebanyak 2,54 juta ton, berarti masih ada
kekurangan sekitar 420.000 ton gula konsumsi langsung rumah tangga yang harus
dipenuhi pemerintah melalui kran impor (Ditjenbun, 2013). Pemerintah sebenarnya telah mencanangkan program revitalisasi peningkatan produktivitas gula nasional dengan sasaran tercapainya swasembada gula pada tahun 2014. Namun, beberapa program dan sasaran
pencapaian swasembada gula belum sepenuhnya tercapai maksimal seperti perluasan
lahan, pembangunan pabrik baru, dan revitalisasi pabrik gula.
Sebagai market leader di industri gula nasional
dimana pada tahun 2013 PTPN X memberikan kontribusi sebesar 19,11% terhadap produksi
gula nasional atau sekitar 485.472 ton, PTPN X turut terpacu untuk terus
berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan gula nasional. Berbagai upaya
peningkatan produksi gula terus dilakukan, baik di sisi manajemen on farm maupun off farm. Di sisi on farm,
peningkatan produktivitas tanaman tebu terus digalakan antara lain melalui penggunaan
varietas unggul, pengendalian
hama penyakit, penggunaan pupuk yang berimbang, penerapan mekanisasi, serta
penerapan teknologi informasi seperti sistem informasi geografis kebun (SIG).
Penerapan teknologi informasi seperti SIG menjadi kebutuhan yang tidak bisa
ditawar lagi. Kebutuhan akan data yang akurat, valid, dan up to date mengenai manajemen on
farm seperti luas areal, varietas, masa tanam, kemasakan, dan estimasi
produksi tebu sangat penting bagi manajemen dalam menentukan langkah dan
kebijakan terkait produksi gula.
Salah satu kunci keberhasilan dalam proses
produksi gula adalah akurasi data tentang ketersediaan dan mutu bahan baku tebu
bagi pabrik gula. Kurangnya pasokan bahan baku tebu yang selalu ditemui setiap
masa giling mengharuskan adanya sistem yang akurat dan menjamin ketersediaan
pasokan bahan baku tebu sejak jauh hari sebelum giling meliputi luas areal,
varietas, masa tanam, umur tebu, kemasakan tebu, sampai estimasi atau taksasi
produksi tebu. Selama ini, metode taksasi potensi produksi dan ketersediaan
bahan baku tebu masih dilakukan dengan pendekatan lapangan (konvensional) yaitu
taksasi secara visual dan taksasi
metode sampling. Taksasi secara visual dilakukan dengan cara mengamati
pertumbuhan dan menaksir langsung potensi produksi tebu berdasarkan pandangan
mata petugas kebun (mandor, kemetir, asisten manajer) yang berpengalaman. Sedangkan,
taksasi metode sampling dilakukan
dengan cara mengambil perwakilan beberapa juring dan melakukan pengamatan
terhadap komponen produksi meliputi tinggi batang, jumlah batang per juring, berat
batang per meter, dan jumlah juring per hektar yang nantinya dimasukkan dalam
perhitungan matematis tertentu.
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan
metode taksasi yang selama ini dilakukan. Namun, metode taksasi secara visual yang mengandalkan “DarTo” alias Radar
Moto (baca : Radar Mata) petugas kebun memiliki faktor bias yang cukup tinggi
dan bersifat subyektif. Bisa jadi hasil taksiran antara petugas kebun yang baru
bekerja di kebun selama 5 tahun dengan petugas yang sudah berpengalaman selama 20
tahun bisa berbeda, sehingga angka kuantitatif penafsiran potensi produksi
menjadi bias dan bersifat subyektif. Oleh karena itu, perlu adanya metode
alternatif dalam taksasi produksi tebu termasuk inventarisasi sebaran dan luas
lahan, serta monitoring pertumbuhan tebu, salah satunya yaitu dengan penerapan teknologi
penginderaan jauh (remote sensing).
Apa Itu Teknologi
Penginderaan Jauh ?
Penginderaan jauh atau dalam bahasa
Inggris disebut remote sensing
merupakan suatu ilmu atau teknologi untuk memperoleh informasi atau fenomena
alam melalui analisis suatu data yang diperoleh dari hasil rekaman obyek,
daerah, atau fenomena yang dikaji. Perekaman atau pengumpulan data penginderaan
jauh (inderaja) dilakukan dengan menggunakan alat pengindera berupa kamera atau
sensor yang biasanya dipasang pada suatu wahana seperti pesawat terbang,
helikopter, satelit, hingga pesawat tanpa awak (Unmanned Aerial Vehicle/UAV) atau pesawat aeromodelling (Lillesand dan Kiefer, 1994). Data yang dihasilkan
berupa data visual atau biasa disebut
citra, tergantung dari wahana yang digunakan apakah menggunakan pesawat terbang
(foto udara) atau satelit (citra satelit). Perkembangan
teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis menawarkan solusi
dalam penerapan pertanian presisi (precision
agriculture) yang memungkinkan pengelolaan lahan secara tepat untuk
mendapatkan produktivitas tanaman tebu yang optimal. Penyajian informasi
mengenai sebaran dan luas areal, kondisi dan pertumbuhan tanaman tebu,
kemasakan, taksasi produksi, dan informasi lainnya dapat dilakukan dengan
cepat, tepat, akurat, dan objektif.
Pemanfaatan citra satelit maupun foto udara untuk
monitoring sumber daya lahan pertanian mulai marak sejak tahun 1972, ketika
Amerika Serikat meluncurkan satelit pengamatan sumber daya alam
bernama ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite-1), yang kemudian
diberi nama baru menjadi Landsat-1. Saat ini, telah beredar banyak jenis
satelit pengamatan sumber daya yang diluncurkan oleh berbagai negara dengan
kemampuan dan resolusi spasial yang beragam,
dari resolusi sekitar satu meter atau kurang seperti satelit IKONOS, OrbView, QuickBird dan
GeoEye milik perusahaan swasta Amerika Serikat, 10 meter atau kurang (SPOT
milik Perancis, COSMOS milik Rusia, IRS milik India dan ALOS milik Jepang),
15-30 meter (ASTER yang merupakan proyek kerjasama Jepang dan NASA,
Landsat 7 ETM+ milik Amerika Serikat, yang sayangnya mengalami kerusakan sejak
tahun 2003), 50 meter (MOS, milik Jepang), 250 dan 500 meter (MODIS milik
Jepang) hingga 1,1 km seperti satelit NOAA-AVHRR milik Amerika Serikat (Danoedoro,
2012).
Berbagai metode penginderaan
jauh untuk reinventarisasi, monitoring, dan estimasi produktivitas tanaman
tebu. (Sumber : Majalah Sains Indonesia Edisi
03 - Maret 2012).
Pesawat Tanpa Awak : Ringkas
dan Efisien !
Pada awal perkembangannya di Indoensia, penerapan
penginderaan jauh hanya memanfaatkan citra satelit dan foto udara yang
dilakukan dengan menggunakan pesawat terbang maupun helikopter. Selain memakan biaya yang tinggi, pengambilan citra
satelit seringkali terkendala oleh tutupan awan, waktu pengambilan dan lokasi
data yang dibutuhkan tidak fleksibel karena tergantung lintasan orbit satelit sehingga
data tidak real time dan informasi terlambat diperoleh. Setali tiga uang, penggunaan pesawat terbang maupun
helikopter untuk pengambilan foto udara memakan biaya yang tinggi. Biaya sewa helikopter
per jam sekitar 10-17 juta rupiah, sedangkan pesawat terbang kecil jenis Cessna
sekitar 20-30 juta rupiah tergantung lama sewa dan lainnya. Kini wahana pengambilan foto udara semakin beragam, salah
satunya adalah pesawat tanpa awak (Unmanned
Aerial Vehicle/UAV). Pemotretan udara dengan menggunakan pesawat tanpa awak merupakan salah satu teknologi alternatif untuk mendapatkan data
yang real time, cepat, murah, serta memiliki resolusi
spasial yang lebih tinggi dan jelas dibandingkan citra satelit karena kemampuan
terbangnya pada ketinggian 50-300 meter sehingga pengambilan foto tidak
tergangggu oleh tutupan awan.
Perkembangan teknologi informasi dan
elektronika yang semakin maju, membuat pesawat tanpa awak semakin canggih dan
pintar. Pesawat tanpa awak dapat dikendalikan secara autonomous dengan sistem navigasi otomatis. Manakala akan terbang,
sebelumnya rencana jalur terbang (flight
plan) dapat dijejalkan pada “otak”-nya, sehingga pesawat akan terbang
secara otomatis mengikuti jalur terbang dan mengambil foto pada titik-titik
yang sudah ditentukan. Selain itu, operator hanya memantau dan mengambil data melalui
stasiun pengontrol di darat (ground
control station) secara real time.
Kemampuan pesawat tanpa awak untuk menggotong beban yang dapat mencapai 1-6 kg
tergantung spesifikasi dan jenis pesawat dapat digunakan untuk mengangkut berbagai
jenis kamera atau sensor sesuai kebutuhan.
Luas keseluruhan lahan tebu PTPN X yang mencapai
77.788 hektar pada tahun 2013, memiliki karakteristik lahan yang beragam.
Sekitar 95% dari keseluruhan luas areal tebu PTPN X merupakan Tebu Rakyat (TR)
atau lahan milik petani dengan karakteristik luasan lahan kecil,
berpetak-petak, dan tersebar. Sehingga, mapping
lahan dan monitoring pertumbuhan serta estimasi produksi tebu menggunakan pesawat
tanpa awak yang kecil dan ringkas akan lebih efektif dan efisien.
Foto udara kebun tebu Pabrik
Gula Takalar, Sulawesi Selatan, layering
di Google Earth.
(Sumber gambar : dokumentasi Capung Aerial Photo and Video)
Foto Udara + SIMBUN/SIG +
SIPG On Farm & Off Farm = Integrated Early Warning System Produksi Gula PTPN X
Pengembangan Sistem Informasi Produksi Gula
(SIPG) On Farm maupun Off Farm yang sedang dilaksanakan oleh bagian
Teknologi Informasi Sekretaris Perusahaan PTPN X serta pengembangan Sistem
Informasi Geografis Kebun (SIG/SIMBUN) oleh Divisi Quality Control dan Pengembangan
Lahan perlu diapresiasi dan didukung sepenuhnya oleh seluruh jajaran mulai dari
mandor kebun sampai tingkat manajemen. Semakin menyempitnya lahan pertanian
dari waktu ke waktu, mengharuskan kita untuk memaksimalkan setiap petak lahan
yang ada dengan penggunaan teknologi pertanian yang presisi. Foto udara dapat
dijadikan sebagai metode alternatif dalam inventarisasi lahan, monitoring
pertumbuhan tanaman tebu, serta taksasi bahan baku tebu bagi pabrik gula. Implementasi
pengintegrasian foto udara dengan SIG dan SIPG On Farm bukanlah hal yang mustahil, dan ini akan menjadikannya
sebagai suatu sistem deteksi dini yang terpadu (Integrated Early Warning System)
dan saling melengkapi sehingga dapat dijadikan data acuan yang akurat,
valid, objektif, dan up to date bagi
manajemen dalam pengambilan keputusan dan perencanaan produksi gula. Semoga !
DAFTAR
PUSTAKA
Danoedoro,
P. 2012. Pengantar Penginderaan Jauh
Digital. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Ditjenbun, 25 Mei 2013, “Dirjenbun
: kebutuhan gula nasional mencapai 5,700 juta ton tahun 2014”, diunduh
dari http://ditjenbun.deptan.go.id/setditjenbun/berita-172-dirjenbun--kebutuhan-gula-nasional-mencapai-5700-juta-ton-tahun-2014.html,
tanggal 28 Pebruari 2014.
Lillesand, T. M. dan R. W. Kiefer. 1994. Penginderaan Jauh dan lnterpretasi Citra. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.