Pages

Tuesday 31 July 2018

REVIEW MITIGASI STRATEGIS PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KESTABILAN PRODUKSI TANAMAN TEBU


OLEH: Purnomo Aji ( Kepala Pusat Penelitian Gula Jengkol)

Kondisi iklim saat ini terus mengalami perubahan dan seringkali sulit untuk diprediksi, peningkatan CO2 di atmosfer diduga sebagai penyebab terjadinya perubahan iklim yang tidak menentu, Peningkatan CO2 diperkirakan naik 30% sejak abad 18 dan diprediksi akan terus meningkat dari 550 ppm menjadi 800 ppm.

Penggunaan bahan bakar fuel dari minyak bumi, perkembangan industry dan penggundulan lahan menjadi penyebab Peningkatan CO2 yang berakibat terjadinya pemanasan global, tanaman tebu juga diindikasikan berkontribusi pada peningkatan jumlah CO2 yaitu sekitar 2.4 Ton CO2 dilepaskan dari tanaman tebu per ha sebagai akibat pembakaran sisa trash (44%), penggunaan pupuk anorganik (20%) dan penggunaan bahan bakar fossil untuk operasional dikebun (18%).


Dampak negative dari pemanasan global ini menyebabkan variasi perubahan iklim, naiknya permukaan air laut, pola curah hujan yang tidak menentu, frekuensi suhu maksmimum dan minimum, banjir, kekeringan, dan berbagai kondisi stress lainya (baik biotik dan abiotic).

Peningkatan suhu yang diikuti dengan kekeringan akan menyebabkan penurunan hasil produksi pertanian, sehingga hal ini akan menjadi tantangan sendiri terutama untuk Negara-negara berkembang dimana sangat tergantung pada curah hujan dan tidak memiliki sistem irigasi yang baik.

Respon Tanaman Tebu Terhadap Perubahan Iklim

Tanaman tebu merupakan tanaman C4 yang tumbuh disebagain besar daerah tropis dan subtropics, dimana fase pertumbuhan tebu sangat dipengaruhi oleh cuaca dan iklim, potensi negative akibat perubahan iklim tergantung perubahan iklim apa yang terjadi (kekeringan, hujan sepanjang tahun, angin tropis, dll)

Perubahan iklim akibat meningkatnya jumlah CO2 menyebabkan peningkatan fotosintesis, efisiensi penggunaan air (kebutuhan) dan produksi tanaman (naik/turun), karena hal ini terkait dengan konduktansi stomata.

Pengaruh positive akan dirasakan oleh daerah-daerah yang memiliki musim dingin lama seperti Lousiana karena akan mengurangi terjadinya frost (embun beku) dan akan berakibat negative.

Terutama daerah tropis seperti Indonesia dan Australia, dimana membutuhkan musim dingin untuk untuk memperlambat pertumbuhannya dan memacu pengumpulan sukrosa dalam batang tebu.

Suhu tinggi juga akan memicu terjadinya evapotranspirasi berakibat pada penurunan jumlah air yang tersedia dalam tanah, berakibat pada semakin banyak kebutuhan air untuk irigasi, dampak dari tidak tersediannya irigasi akan menyebabkan penurunan produksi sebesar 20-40%.

Efek kekeringan karena perubahan iklim pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman tebu bergantung pada tahap pertumbuhan tanaman tebu, tingkat stress karena defisit air dan durasi stres. Secara umum, kekeringan pada tahap awal dan pertengahan pertumbuhan tanaman tebu dapat mengurangi hasil tebu yang mengarah ke hasil sukrosa rendah. Sedangkan kekeringan pada tahap pertumbuhan akhir dapat meningkatkan kandungan sukrosa dalam batang.

Selain kekeringan perubahan iklim juga menyebabkan hujan sepanjang tahun, dimana akan menyebabkan fenomena waterlogging (air tergenang) pada beberapa daerah yang bisa menyebabkan penurunan produksi tebu 18-64% tergantung pada lamanya water logging pada tahap pertumbuhan tanaman tebu dan varietasnya.

Selain itu perubahan iklim juga berpengaruh pada perkembangan organisme pengganggu tanaman (hama, penyakit dan gulma),seperti:
1. terjadinya peningkatan penyakit luka api (smut yang disebabkan oleh Sporisorium scitamineum
    (Syd.)
2. Cuaca kering yang ekstrim juga memicu munculnya gejala penyakit ratoon stunting (RSD).
3. Sulit untuk memprediksi pengaruh perubahan iklim berubah pada penyakit karat daun tebu, tetapi
    badai yang parah dapat menyebarkan daun hangus (leaf scald) yang disebabkan oleh Xanthomonas
    albilineans.
4. Peningkatan biaya untuk mengendalikan perkembangan OPT

Srategi dan mitigasi tanaman tebu untuk adaptasi terhadap perubahan iklim

Secara umum variasi produksi tanaman tebu pada Negara berkembang sangat besar (tabel 2. dibawah), hal ini diakibatkan pada banyaknya variasi curah hujan dan suhu dan juga akibat adaptasi yang rendah, kemampuan memprediksi perubahan iklim yang rendah, input tinggi dan biaya tinggi, harga produksi yang rendah sehingga memberi keuntungan yang rendah.


Lebih dari separuh lahan tebu terletak di daerah perbukitan (marginal) di mana operasi mekanis tidak tersedia dan penggunaan tenaga kerja untuk penanaman, manajemen kebun, dan panen sangat meningkatkan input, dari biaya tenaga kerja dimana terus meningkat dan menyumbang sekitar 27% dari harga tebu sehingga pendapatan petani dari tebu terpengaruh jauh. Oleh karena itu, harga tebu dan biaya tenaga kerja yang tinggi menyebabkan penurunan laba bersih yang besar bagi para petani.

Peningkatan keuntungan petani dapat ditingkatkan tentu saja pada kondisi sekarang dan masa depan dimana iklim akan terjadi perubahan, maka yang pasti produksi tebu sangat dipengaruhi oleh :

1. Varietas tanaman (genotipe),
2. Lingkungan tumbuh baik biotik maupun abiotic (yaitu, serangga, penyakit, gulma, dan faktor iklim
    lainya yang terkait),
3. Praktik manajemen kebun (pola budidaya).

Beberapa strategi mitigasi dan adaptasi untuk iklim yang perlu dilakukan antara lain:

1. Menanam varietas toleran kekeringan dan tanah asam,
2. Investasi infrastruktur irigasi dan drainase , untuk mendapatkan sistem irigasi yang efisien
3. Meningkatkan kualitas praktik budaya dan manajemen kebun.

Pola Perubahan Iklim Spesifik Di Wilayah Kerja PTPN X Terkait Produksi Tebu

Pola curah hujan diwilayah kerja PTPN X selama 11 tahun ini menunjukkan trend pola 3 (tiga) tahunan, yang artinya setiap musim berulang pada tahun ke-3. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3, sehingga secara tidak langsung perubahan iklim sudah dapat diperkirakan dampak positif dan negatifnya.


Dengan mengetahui trend pola curah hujan 3 tahunan ini, maka akan dengan mudah mempersiapkan sarana dan prasarana yang diperlukan agar perubahan curah hujan ini tidak berdampak buruk pada hasil produksi pertanian umumnya dan tebu pada khususnya.

Lahan tanaman tebu di PTPN X, sudah mulai bergeser yang dulunya ditanam dilahan historis dengan pengairan teknis dan drainase lancar beralih ke lahan marginal atau tegalan dengan pengairan menggunakan pompa dan tadah hujan, walaupun masih ada juga yang ditanam dilahan sawah namun tidak memiliki sistem irigasi dan drainasi yang baik, bila musim hujan tergenang air sedangkan waktu kering kekurangan air.

Tahun 2018 menurut trend pola curah hujan 3 tahunan masuk dalam musim kering, sehingga potensi produksi sangat dibatasi oleh jumlah air yang tersedia dimana akan berpengaruh pada peningkatan penyimpanan sukrosa dalam tanaman tebu sehingga rendemen bisa naik (tinggi) tapi berbanding terbalik dengan produksi tebunya karena tahun ini dimulai dengan terjadinya pembungaan (pada daerah tertentu) sehingga pemanjangan batang tebu tidak bisa maksimal dan bobot berkurang akibat munculnya penggabusan dalam batang tebu berakibat pada penurunan produksi (bobot).

Selain itu, kondisi ini juga akan berpengaruh pada produksi tanaman tebu tahun depan (2019) apabila permasalahan kebutuhan air tidak bisa dicukupi, karena fase pertumbuhan tanaman tebu masuk pada musim kering yang membutuhkan air cukup banyak (ruas stagnan dan diameter kecil), dan akan cenderung memiliki potensi roboh di tahun 2019 karena mendapatkan air yang cukup sehingga menyebabkan panjang ruas dan besar diameter lebih panjang dan lebih besar untuk ruas batang diatas sehingga potensi tebu roboh sangat mungkin terjadi, dan tentu saja akan berpengaruh pada produksi dan munculnya sogolan, dan kemungkinan tidak ditemukannya masa kering (Masa kering pendek) akan berakibat pada penurunan proses penyimpanan sukrosa dalam tebu sehingga rendemen tidak bisa meningkat.

Hal diatas menjadi sebab utama kenapa produktivitas tanaman tebu di PTPN X cenderung stagnan bahkan menurun disamping factor yang lainnya (keterediaan pupuk, benih berkualitas, kesiapan biaya dll).

Secara garis besar untuk menghadapi perubahan iklim seperti diutarakan diatas ada beberapa cara yaitu:

1. Menanam varietas yang toleran terhadap kekeringan dan pada kondisi basah, minimal toleran pada
    kondisi kering (karena sebagian lahan yang ada sekarang pada lahan marginal dan berpola
    pengairan tadah hujan).
2. Memastikan tersedianya sistem irigasi dan drainase yang baik
3. Apabila sistem irigasi dan drainase sulit dipenuhi maka diperlukan pemikiraan bahwa tanah harus
    bisa menyimpan air salah satunya dengan menggunakan biochar (berbeda dengan pupuk organic,
   biochar secara cepat dapat meningkatkan kandungan BO tanah dan bertahan dalam tanah bisa
   ratusan tahun) dan meningkatkan jumlah karbon dalam tanah dengan tidak membakar trash tebu
   (trash management)
4. Pada kondisi tanaman tebu tidak mendapatkan masa kering untuk proses kemasakan maka
    diperlukan rekayasa agar tanaman tebu bisa dipercepat atau dipacu, salah satunya dengan
    penggunaan ripener (ZPK) secara selektif
5. Penyempurnaan pola budidaya (best management practices), penyiapan sarana produksi yang tepat
    sesuai dengan fase pertumbuhan tanaman tebu.

------------------------------------------------------------------
Disarikan dan dikembangkan dari artikel Climate change and sugarcane production: Potential Impact and Mitigation Strategies, written by Duli Zhao and Yang Rui li, International Journal of Agronomy volume 2015