Pages

Thursday 28 February 2013

Industri Gula Terpadu, Tak Sekedar Mimpi!

Oleh : Sandi Gunawan


Pabrik Bioethanol yang terintegrasi dengan Pabrik Gula Gempolkrep di Mojokerto.
    (sumber : dokumentasi Capung Aerial Photo and Video).

 Jika ada suatu tanaman yang hampir semua bagiannya dapat dimanfaatkan, barangkali tebu lah salah satu jawabannya. Ya, mulai dari pangkal daun sampai ujung akar tanaman tebu dapat dimanfaatkan. Daun tebu dapat dijadikan pakan ternak hingga dongkelan tebu (sisa batang dan akar tebu yang masih tertanam di dalam tanah) juga dapat dijadikan biochar, yaitu arang yang mengandung bahan organik (c-organik) tinggi mencapai 38% dan berfungsi sebagai pembenah tanah untuk meningkatkan kesuburan tanah1. Umumnya, khalayak hanya mengenal tebu sebagai tanaman penghasil gula. Padahal, tak terbatas sebagai tanaman penghasil gula, tebu juga dapat menghasilkan banyak produk turunan (co-product). Menurut Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), lembaga penelitian yang hampir 126 tahun meneliti tanaman tebu ini, lebih dari 150 macam produk, mulai dari produk pangan, bahan kimia, bahan furnitur, bahan bangunan, pupuk, pakan ternak, kertas, produk farmasi, hingga listrik dapat dihasilkan dari tanaman tebu. Data tahun 2008 menunjukkan Indonesia memiliki 45 industri co-product tebu dengan 16 jenis produk. Namun ironisnya, 60% perusahaan yang bergerak bukan merupakan industri gula2. Pabrik gula hanya menjual bahan baku berupa hasil samping (by product) ke pabrik-pabrik penghasil produk turunan (co-product) tebu tersebut, sehingga pabrik gula sama sekali tidak mendapat nilai tambah dari usaha produk turunan tebu.

Hal ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi industri gula nasional. Paradigma lama pabrik gula hanya sebagai penghasil gula sebagai produk utama harus mulai dirubah. Perubahan lingkungan, baik internal maupun eksternal di era globalisasi saat ini membuat dinamika bisnis gula begitu dinamis, sehingga transformasi bisnis merupakan keniscayaan, bahkan keharusan agar tetap eksis. Transformasi industri gula dari industri single product (gula pasir) menuju industri gula terpadu dengan multi product perlu digarap dengan serius, yaitu dengan diversifikasi produk turunan tebu agar dapat meningkatkan nilai tambah (added value) perusahaan dari produk turunan tebu sehingga meningkatkan daya saing perusahaan. Jika perusahaan atau industri gula terus menerus hanya bertumpu pada gula sebagai produk utama, perusahaan tidak dapat berkembang dan sulit mendapatkan keuntungan maksimal. Faktor yang membatasi antara lain tingkat harga gula dan pasar gula. Selain itu, produksi gula hanya bertumpu pada tingkat produktivitas, efisiensi, dan luas areal, sehingga pada kondisi yang kurang kompetitif akan menurunkan keuntungan pabrik gula bahkan cenderung merugi.


Memang, sejak awal industri gula di Indonesia tidak didesain sebagai industri gula yang terpadu dengan industri lainnya dimana pabrik gula hanya berdiri sendiri. Hal ini dapat dimaklumi karena sebagian besar pabrik gula merupakan peninggalan zaman Hindia Belanda dan telah berumur ratusan tahun, terutama pabrik gula milik BUMN. Saat itu belum ada roadmap industri gula yang tepadu dengan industri produk turunan tebu. Pun sama halnya dengan produk turunan tebu masih belum banyak berkembang seperti sekarang. Kondisi ini berbeda dengan negara lain seperti Brazil yang memiliki industri gula terintegrasi dengan pabrik produk turunan tebu seperti pabrik bioethanol dan penghasil listrik atau biasa disebut dengan co-generation. Pada tahun 2008, industri gula Brazil mampu menghasilkan sekitar 32,96 juta ton gula, 7 milyar galon ethanol, dan 16.000 GWH (Gigawatt Hour) listrik. Tebu menempati posisi pertama sebagai sumber energi terbarukan dan kedua untuk kategori keseluruhan sumber energi setelah minyak bumi di Brazil3.

Pengembangan Industri Gula Terpadu
Bercermin pada kesuksesan industri gula di Brazil, Indonesia sebenarnya sudah mulai melakukan industrialisasi diversifikasi produk turunan tebu yang terintegrasi dengan pabrik gula seperti industri lilin (wax) dari blotong, pabrik alkohol serta spirtus mulai tahun 1950-an, namun perkembangannya cenderung lambat dan jalan di tempat. Keseriusan pemerintah untuk membangun industri produk turunan tebu yang terpadu dengan industri gula mulai terlihat kembali beberapa tahun terakhir dengan disusunnya Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014 maupun Program Revitalisasi Industri Gula Nasional Kementerian BUMN dan Kementerian Perindustrian. Pengembangan industri produk turunan tebu yang terpadu dan modern dapat memberikan multiplier effect (efek pengganda) terutama di sektor hulu. Akan banyak industri yang tumbuh dan banyak menyerap tenaga kerja serta mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam jangka pendek, pengembangan industri gula terpadu dapat dimulai dari beberapa produk seperti bioethanol, kompos atau pupuk organik, dan listrik (co-generation). Namun, ada beberapa hal-hal yang perlu diperhatikan terkait pembangunan industri gula yang terpadu dengan industri turunannya agar efisien dan menguntungkan, antara lain :


Pertama, ketersedian lahan yang cukup luas di pabrik gula. Pertumbuhan penduduk dan ekonomi yang semakin meningkat memaksa ketersediaan lahan kosong dan pertanian diubah menjadi perumahan dan industri. Hal ini juga berdampak pada eksistensi pabrik gula. Saat ini, sebagian besar lokasi pabrik gula BUMN berdampingan dengan perumahan penduduk bahkan ada yang berada di tengah-tengah kota. Oleh karena itu, perintisan industri gula terpadu dalam jangka pendek perlu dipilih lokasi pabrik gula yang memiliki lahan cukup luas. Hal ini selain agar proses produksi berjalan lancar juga tidak mengganggu lingkungan sekitar, sehingga tercipta industri gula terpadu yang lestari dan berkelanjutan. Sedangkan dalam jangka menengah-panjang dapat dibangun perkebunan tebu dan pabrik gula baru yang terintegrasi dengan pabrik co-product tebu seperti bioethanol, pupuk organik, co-generation, dan industri produk turunan tebu lainnya seperti yang akan dilakukan oleh PT. Perkebunan Nusantara X (Persero) di Pulau Madura dalam beberapa tahun ke depan4.

Kedua, kapasitas giling dan efisiensi pabrik gula. Pabrik gula yang efisien dan memiliki kapasitas giling lebih dari 5.000 TCD (Ton Cane per Day/Ton Tebu per Hari) dinilai memiliki profil kelayakan finansial yang lebih baik untuk usaha produk turunan tebu seperti pabrik bioethanol dan produksi listrik. Hal ini berkaitan dengan efisiensi energi proses produksi, ketersediaan bahan baku produk turunan tebu, dan nilai keekonomian pabrik tersebut. Hasil kajian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian menunjukkan pabrik bioethanol dengan kapasitas 60 kiloliter/hari memerlukan biaya investasi sebesar Rp. 133 - 200 milyar. Dengan biaya operasional per tahun sekitar Rp. 39 milyar dan harga bioethanol Rp. 5,5 juta/kiloliter, maka usaha tersebut secara finansial menguntungkan dengan B/C ratio (Benefit Cost Ratio) diestimasi sekitar 1,37. Pengusahaan pembangkit tenaga listrik dengan memanfaatkan ampas tebu (co-generation) juga cukup prospektif. Dengan kapasitas sekitar 6.000 KWH (Kilowatt Hour), usaha ini memerlukan dana investasi sekitar Rp. 45 milyar dan biaya operasional sekitar Rp. 9 milyar. Secara finansial usaha cogeneration cukup menguntungkan dengan nilai B/C adalah sekitar 1,845.
 
Ketiga, kebijakan pemerintah. Tanpa political will berupa dukungan kebijakan dari pemerintah, pembangunan industri gula terpadu sulit diwujudkan. Berbagai kebijakan pergulaan seperti kebijakan produksi, perdagangan, dan investasi harus dijalankan secara konsisten. Seperti diketahui, investasi pada industri gula memerlukan investasi yang sangat besar. Oleh karena itu, perlu dukungan modal atau investasi baik dari pemerintah maupun investor dan tidak hanya mengandalkan kas internal perusahaan. Pemberian insentif dari pemerintah juga diperlukan untuk pembangunan industri gula terpadu di luar pulau Jawa.

Saatnya Mengulang Sejarah Kejayaan Industri Gula Nasional !

Industri gula nasional pernah mencapai masa keemasan pada masa pemerintahan Hindia Belanda sekitar tahun 1930-an. Saat itu, produksi gula nasional mencapai 3 juta ton dengan ekspor gula 2,4 juta ton. Namun seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, industri gula nasional seakan semakin redup sinarnya. Target swasembada gula tahun 2014 menjadi salah satu cambuk untuk membangkitkan industri gula nasional. Namun, tidak hanya sekedar menghasilkan gula untuk konsumsi masyarakat, lebih dari itu, industri gula nasional harus mulai berpikir untuk mewujudkan industri gula yang terpadu dengan industri produk turunan tebu. Iklim investasi di Indonesia yang cukup kondusif dan political will pemerintah yang dituangkan dalam berbagai kebijakan pergulaan, rencana strategis (renstra) maupun roadmap pada setiap kementerian terkait seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam mewujudkan industri gula terpadu. Tentunya, konsistensi pelaksanaan kebijakan tersebut perlu dikawal bersama agar tetap berjalan sesuai rencana.

Salah satu langkah nyata pengembangan industri produk turunan tebu diawali oleh Kementerian Perindustrian yang sepakat melakukan kerjasama dengan The New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO) Jepang  untuk mengembangkan pabrik bioethanol yang terintegrasi dengan pabrik gula. Kerjasama Goverment to Goverment (G to G) ini diwakili oleh PT. Perkebunan Nusantara X (Persero) sebagai wakil pemerintah Indonesia. Pabrik bioethanol yang akan dijadikan pilot project bagi pabrik gula lain di Indonesia ini akan dibangun terintegrasi dengan Pabrik Gula (PG) Gempolkrep di Mojokerto6.
Sebagai BUMN perkebunan dengan core bussiness industri gula, tembakau cerutu, dan rumah sakit, PTPN X serius menggarap diversifikasi usaha produk turunan tebu. Selain pembangunan pabrik bioethanol di PG Gempolkrep yang dijadwalkan mulai beroperasi tahun ini, perusahaan yang pada tahun 2012 lalu berhasil memproduksi gula sebanyak 494.616 ton ini juga akan memproduksi listrik dari ampas tebu dan limbah pabrik bioethanol (vinasse). PG Ngadiredjo yang berlokasi di Kediri akan dijadikan rintisan dan percontohan proyek co-generation bagi 10 pabrik gula lain milik PTPN X. Potensi energi listrik yang dihasilkan oleh pabrik gula peraih laba terbesar tahun 2012 ini mencapai 37,81 MW, sedangkan listrik yang dipakai sendiri sebesar 7,67 MW. Sehingga kelebihan listrik sekitar 30,14 MW dapat dijual kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat maupun industri lainnya. Selain itu, perusahaan juga akan meningkatkan kualitas dan produksi pupuk organik dengan bahan baku limbah padat pabrik gula, yaitu blotong dan abu ketel. Kemelimpahan limbah tersebut merupakan modal besar bagi perseroan milik negara ini untuk meningkatkan pendapatan sekaligus melestarikan lingkungan dan mendukung program Go Organic yang dicanangkan pemerintah7.
Perjalanan ribuan kilometer selalu diawali dengan satu langkah kecil”, kata-kata bijak Lao Tse, filusuf asal negeri Tiongkok yang penuh makna tersebut, semakin menguatkan tekad kita semua untuk mulai membangun industri gula nasional yang terpadu dan modern. Berbagai langkah yang ditempuh PTPN X diharapkan dapat menstimulus industri gula lainnya untuk mulai merambah industri co-product tebu secara serius. Sebagai leader BUMN gula, PTPN X diharapkan menjadi lokomotif kebangkitan industri gula nasional. Hingga pada saatnya nanti, cita-cita mewujudkan industri gula terpadu dapat tercapai dan tak sekadar mimpi lagi! Sejarah kejayaan industri gula Indonesia akan terulang kembali pada era yang berbeda yaitu era industri gula yang terpadu dan modern. Semoga!




DAFTAR PUSTAKA


1Laboratorium Pengujian Tanah dan Pupuk. Pusat Penelitian Gula PTPN X Tahun 2012.
2P3GI. 2008. 121 Tahun P3GI, Mengejar Sebuah Asa. Pasuruan.
3Phillips, L. 2011. Brazilian Sugarcane Industry Overview. Southeast Bioenergy Conference, Tifton, GA, August 9, 2011.
4PTPNX Mag Volume 006/Th-II, Oktober - Desember 2012.
5Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu. Jakarta.

6Kementerian Perindustrian, 2 Agustus 2010, “Kementrian Perindustrian - NEDO Jepang Sepakati Membangun Industri Bio Ethanol”, diunduh dari http://www.kemenperin.go.id/artikel/432/Kementrian-Perindustrian---Nedo-Jepang-Sepakati-Membangun-Industri-Bio-Ethanol, tanggal 21 Januari 2013.

7Kompas.com dalam artikel “Potensi Bisnis Diversifikasi PTPN X Capai Rp 1,7 Triliun”, tanggal 6 Februari2013, http://regional.kompas.com/read/2013/02/06/17291731/Potensi.Bisnis.Diversifikasi.PTPN.X.Capai.Rp.1.7.Triliun, diunduh tanggal 12 Februari 2013.