Oleh : Sandi Gunawan
Pabrik Bioethanol yang terintegrasi dengan Pabrik Gula Gempolkrep di
Mojokerto.
(sumber : dokumentasi Capung Aerial Photo
and Video).
Jika ada suatu tanaman yang hampir
semua bagiannya dapat dimanfaatkan, barangkali tebu lah salah satu jawabannya. Ya, mulai dari pangkal daun sampai ujung akar
tanaman tebu dapat dimanfaatkan. Daun tebu dapat
dijadikan pakan ternak hingga dongkelan tebu (sisa batang dan akar tebu yang masih tertanam di dalam tanah)
juga dapat dijadikan biochar, yaitu
arang yang mengandung bahan organik (c-organik) tinggi mencapai 38% dan berfungsi
sebagai pembenah tanah untuk meningkatkan kesuburan tanah1. Umumnya, khalayak hanya mengenal tebu
sebagai tanaman penghasil gula. Padahal, tak terbatas sebagai tanaman penghasil
gula, tebu juga dapat
menghasilkan banyak produk turunan (co-product).
Menurut Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), lembaga penelitian yang hampir 126 tahun meneliti tanaman tebu
ini, lebih dari 150 macam produk, mulai dari produk pangan, bahan kimia, bahan furnitur,
bahan bangunan, pupuk, pakan ternak, kertas, produk farmasi, hingga listrik dapat
dihasilkan dari tanaman tebu. Data tahun 2008 menunjukkan Indonesia memiliki 45
industri co-product tebu dengan 16
jenis produk. Namun ironisnya, 60% perusahaan yang bergerak bukan merupakan
industri gula2. Pabrik gula hanya
menjual bahan baku berupa hasil
samping (by product) ke pabrik-pabrik penghasil
produk turunan (co-product) tebu tersebut, sehingga
pabrik gula sama sekali
tidak mendapat nilai tambah dari usaha
produk turunan
tebu.
Hal ini menjadi tantangan
sekaligus peluang bagi industri gula nasional. Paradigma lama pabrik gula hanya
sebagai penghasil gula sebagai produk utama harus mulai dirubah. Perubahan lingkungan, baik internal maupun eksternal di era
globalisasi saat ini membuat dinamika bisnis gula begitu dinamis, sehingga
transformasi bisnis merupakan keniscayaan, bahkan keharusan agar tetap eksis.
Transformasi industri gula dari industri single
product (gula pasir) menuju industri gula terpadu dengan multi product perlu digarap dengan
serius, yaitu dengan diversifikasi produk turunan tebu
agar dapat meningkatkan nilai tambah (added
value) perusahaan dari produk turunan tebu sehingga meningkatkan daya saing
perusahaan. Jika perusahaan atau industri gula terus menerus hanya bertumpu pada
gula sebagai produk utama, perusahaan tidak dapat berkembang dan sulit mendapatkan
keuntungan maksimal. Faktor yang membatasi antara lain tingkat harga gula dan
pasar gula. Selain itu, produksi gula hanya bertumpu pada tingkat produktivitas,
efisiensi, dan luas areal, sehingga pada kondisi yang kurang kompetitif akan
menurunkan keuntungan pabrik gula bahkan cenderung merugi.
Memang, sejak awal industri
gula di Indonesia tidak didesain sebagai industri gula yang terpadu dengan
industri lainnya dimana pabrik gula hanya berdiri sendiri. Hal ini dapat
dimaklumi karena sebagian besar pabrik gula merupakan peninggalan zaman Hindia Belanda
dan telah berumur ratusan tahun,
terutama pabrik gula milik BUMN. Saat itu belum ada roadmap industri gula yang tepadu dengan industri produk turunan tebu. Pun sama halnya dengan produk turunan tebu
masih belum banyak berkembang seperti sekarang. Kondisi ini berbeda dengan negara lain seperti Brazil
yang memiliki industri gula terintegrasi
dengan pabrik produk turunan tebu seperti
pabrik bioethanol dan penghasil listrik atau biasa disebut dengan co-generation.
Pada tahun 2008, industri gula Brazil mampu menghasilkan sekitar 32,96 juta ton gula, 7 milyar galon
ethanol, dan 16.000 GWH
(Gigawatt Hour)
listrik.
Tebu menempati posisi pertama sebagai sumber energi terbarukan dan kedua untuk
kategori keseluruhan sumber energi setelah minyak bumi di Brazil3.
Pengembangan Industri Gula Terpadu
Bercermin
pada kesuksesan industri gula di Brazil, Indonesia sebenarnya sudah mulai
melakukan industrialisasi diversifikasi produk turunan tebu yang terintegrasi dengan pabrik gula
seperti industri lilin (wax) dari blotong, pabrik alkohol serta spirtus mulai
tahun 1950-an,
namun perkembangannya cenderung lambat dan jalan di tempat. Keseriusan pemerintah untuk membangun industri produk turunan tebu yang terpadu dengan industri gula mulai
terlihat kembali beberapa tahun terakhir dengan
disusunnya Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014 maupun Program Revitalisasi
Industri Gula Nasional Kementerian BUMN
dan Kementerian Perindustrian. Pengembangan
industri produk turunan tebu yang terpadu dan modern dapat memberikan multiplier effect (efek pengganda) terutama
di sektor hulu. Akan banyak industri yang tumbuh dan banyak menyerap tenaga
kerja serta mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam jangka pendek,
pengembangan industri gula terpadu dapat dimulai dari beberapa
produk seperti bioethanol,
kompos atau pupuk organik, dan listrik (co-generation). Namun, ada beberapa hal-hal yang perlu diperhatikan terkait
pembangunan industri gula yang terpadu dengan industri turunannya agar efisien
dan menguntungkan, antara lain :
Pertama, ketersedian lahan yang cukup luas di pabrik gula. Pertumbuhan
penduduk dan ekonomi yang semakin meningkat memaksa ketersediaan lahan kosong
dan pertanian diubah menjadi perumahan dan industri. Hal ini juga berdampak
pada eksistensi pabrik gula. Saat ini, sebagian besar lokasi pabrik gula BUMN
berdampingan dengan perumahan penduduk bahkan ada yang berada di tengah-tengah
kota. Oleh karena itu, perintisan industri gula terpadu dalam jangka pendek
perlu dipilih lokasi pabrik gula yang memiliki lahan cukup luas. Hal ini selain
agar proses produksi berjalan lancar juga tidak mengganggu lingkungan sekitar, sehingga
tercipta industri gula terpadu yang lestari dan berkelanjutan. Sedangkan dalam
jangka menengah-panjang dapat dibangun perkebunan tebu dan pabrik gula baru
yang terintegrasi dengan pabrik co-product
tebu seperti bioethanol, pupuk organik, co-generation,
dan industri produk turunan tebu lainnya seperti yang akan dilakukan oleh PT.
Perkebunan Nusantara X (Persero) di Pulau Madura dalam beberapa tahun ke depan4.
Kedua, kapasitas giling dan efisiensi pabrik gula. Pabrik gula
yang efisien dan memiliki kapasitas giling lebih dari 5.000 TCD (Ton Cane per Day/Ton Tebu per Hari)
dinilai memiliki profil kelayakan finansial yang lebih baik untuk usaha produk
turunan tebu seperti pabrik bioethanol dan produksi listrik. Hal ini berkaitan
dengan efisiensi energi proses produksi, ketersediaan bahan baku produk turunan
tebu, dan nilai keekonomian pabrik tersebut. Hasil kajian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian
menunjukkan pabrik bioethanol dengan kapasitas 60 kiloliter/hari memerlukan biaya
investasi sebesar Rp. 133 - 200 milyar. Dengan biaya operasional per tahun sekitar
Rp. 39 milyar dan harga bioethanol Rp. 5,5 juta/kiloliter, maka usaha tersebut secara
finansial menguntungkan dengan B/C ratio (Benefit
Cost Ratio) diestimasi sekitar 1,37. Pengusahaan pembangkit tenaga listrik
dengan memanfaatkan ampas tebu (co-generation)
juga cukup prospektif. Dengan kapasitas sekitar 6.000 KWH (Kilowatt Hour), usaha ini memerlukan dana investasi sekitar Rp. 45 milyar
dan biaya operasional sekitar Rp. 9 milyar. Secara finansial usaha cogeneration cukup menguntungkan dengan
nilai B/C adalah sekitar 1,845.
Ketiga, kebijakan pemerintah. Tanpa political will berupa dukungan kebijakan dari pemerintah,
pembangunan industri gula terpadu sulit diwujudkan. Berbagai kebijakan
pergulaan seperti kebijakan produksi, perdagangan, dan investasi harus
dijalankan secara konsisten. Seperti diketahui, investasi pada industri gula
memerlukan investasi yang sangat besar. Oleh karena itu, perlu dukungan modal
atau investasi baik dari pemerintah maupun investor dan tidak hanya mengandalkan
kas internal perusahaan. Pemberian insentif dari pemerintah juga diperlukan
untuk pembangunan industri gula terpadu di luar pulau Jawa.
Saatnya
Mengulang Sejarah Kejayaan Industri Gula Nasional !
Industri gula nasional pernah mencapai masa keemasan pada masa pemerintahan
Hindia Belanda sekitar tahun 1930-an. Saat itu, produksi gula nasional mencapai
3 juta ton dengan ekspor gula 2,4 juta ton. Namun seiring
berjalannya waktu dan perkembangan zaman,
industri
gula nasional
seakan semakin redup sinarnya. Target swasembada gula tahun 2014 menjadi salah
satu cambuk untuk membangkitkan industri
gula nasional. Namun, tidak hanya sekedar menghasilkan gula untuk konsumsi
masyarakat, lebih dari itu, industri
gula nasional harus mulai berpikir untuk mewujudkan
industri
gula yang terpadu dengan industri produk turunan tebu. Iklim investasi di Indonesia yang cukup kondusif
dan political will pemerintah yang
dituangkan dalam berbagai kebijakan
pergulaan, rencana
strategis (renstra) maupun roadmap
pada setiap kementerian terkait seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian
Pertanian, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
menjadi bukti keseriusan
pemerintah dalam mewujudkan industri gula terpadu. Tentunya, konsistensi pelaksanaan kebijakan tersebut
perlu dikawal bersama agar tetap berjalan sesuai rencana.
Salah satu langkah nyata pengembangan industri produk turunan tebu diawali
oleh Kementerian Perindustrian yang sepakat melakukan kerjasama dengan The New Energy and Industrial Technology
Development Organization (NEDO) Jepang
untuk mengembangkan pabrik bioethanol yang terintegrasi dengan pabrik
gula. Kerjasama Goverment to Goverment (G to G) ini diwakili oleh PT. Perkebunan
Nusantara X (Persero) sebagai wakil pemerintah Indonesia. Pabrik bioethanol yang akan
dijadikan pilot project bagi pabrik
gula lain di Indonesia
ini akan dibangun terintegrasi dengan Pabrik Gula (PG) Gempolkrep di Mojokerto6.
Sebagai BUMN perkebunan dengan core
bussiness industri gula, tembakau cerutu, dan rumah sakit, PTPN X serius menggarap diversifikasi
usaha produk turunan
tebu. Selain pembangunan pabrik bioethanol
di PG Gempolkrep yang dijadwalkan mulai beroperasi tahun ini, perusahaan yang
pada tahun 2012 lalu berhasil memproduksi gula sebanyak 494.616 ton ini juga
akan memproduksi listrik dari ampas tebu dan limbah pabrik bioethanol (vinasse). PG Ngadiredjo yang
berlokasi di Kediri akan dijadikan
rintisan dan percontohan proyek co-generation
bagi 10 pabrik gula lain milik PTPN X. Potensi energi listrik yang
dihasilkan oleh pabrik gula peraih laba terbesar tahun 2012 ini mencapai 37,81
MW, sedangkan listrik yang dipakai sendiri sebesar 7,67 MW. Sehingga kelebihan
listrik sekitar 30,14 MW dapat dijual kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN)
untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat maupun industri lainnya. Selain itu, perusahaan juga akan meningkatkan kualitas
dan produksi pupuk organik dengan bahan baku limbah padat pabrik gula, yaitu
blotong dan abu ketel. Kemelimpahan limbah tersebut merupakan modal besar bagi
perseroan milik negara ini untuk meningkatkan pendapatan sekaligus melestarikan
lingkungan dan mendukung program Go
Organic yang dicanangkan pemerintah7.
“Perjalanan ribuan kilometer selalu
diawali dengan satu langkah kecil”, kata-kata bijak Lao Tse, filusuf asal
negeri Tiongkok yang penuh makna tersebut, semakin menguatkan tekad kita semua untuk
mulai membangun industri gula nasional yang terpadu dan modern. Berbagai
langkah yang ditempuh PTPN X diharapkan dapat menstimulus industri gula lainnya
untuk mulai merambah industri co-product
tebu secara serius. Sebagai leader
BUMN gula, PTPN X diharapkan menjadi lokomotif kebangkitan industri gula
nasional. Hingga pada saatnya nanti, cita-cita mewujudkan industri gula terpadu dapat tercapai dan tak sekadar mimpi lagi! Sejarah
kejayaan industri
gula Indonesia akan terulang kembali pada era yang berbeda yaitu era industri gula yang terpadu dan modern. Semoga!
DAFTAR PUSTAKA
2P3GI.
2008. 121 Tahun P3GI, Mengejar Sebuah Asa.
Pasuruan.
3Phillips, L. 2011. Brazilian
Sugarcane Industry Overview. Southeast Bioenergy Conference, Tifton, GA,
August 9, 2011.
4PTPNX Mag Volume 006/Th-II, Oktober - Desember 2012.
5Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian.
2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu. Jakarta.
6Kementerian Perindustrian, 2 Agustus 2010, “Kementrian Perindustrian - NEDO Jepang Sepakati Membangun Industri Bio Ethanol”, diunduh dari http://www.kemenperin.go.id/artikel/432/Kementrian-Perindustrian---Nedo-Jepang-Sepakati-Membangun-Industri-Bio-Ethanol, tanggal 21 Januari 2013.
7Kompas.com dalam
artikel “Potensi
Bisnis Diversifikasi PTPN X Capai Rp 1,7 Triliun”, tanggal 6 Februari2013, http://regional.kompas.com/read/2013/02/06/17291731/Potensi.Bisnis.Diversifikasi.PTPN.X.Capai.Rp.1.7.Triliun, diunduh tanggal 12
Februari 2013.