Implementasi
Pertanian Berkelanjutan di PTPN X Untuk
Menjaga Keseimbangan Ekosistem Dan Meningkatkan Produktivitas
Oleh : Dita Widi Atmaja
Abstrak
PTPN
X menerapkan pertanian berkelanjutan dalam rangka mewujudkan peningkatkan produktivitas
secara berkelanjutan sesuai kaidah pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
hidup. Wujud nyata tersebut antara lain; ¹Menjaga keseimbangan ekositem dalam tanah dengan
pengembalian sisa tanaman seperti seresah, daduk tebu, blotong, abu ketel dan
pemberian biokompos untuk menjaga kesuburan tanah. ²Menerapkan masa tanam optimal
dengan harapan lingkungan dapat memenuhi kebutuhan tanaman secara optimal. ³Penggunaan
agensia hayati Trichograma sp, Cotesia
flavipes dan lalat jatiroto untuk mengendalikan hama penggerek tebu serta
metarizium sebagai pengendali uret. ⁴Pengendalian
penyakit dengan menggunakan varietas tahan, tidak menanam varietas rentan
penyakit di daerah endemik penyakit dimaksud, pembibitan berjenjang yang
terencana untuk menjaga kemurnian dan kesehatan bibit, Perlakuan air panas pada
KBN untuk mengeliminasi berbagai penyakit. Pengunaan kebun bibit yang lolos uji
sertifikasi, penghilangan sumber inokulum dengan eradikasi tanaman terinfeksi
penyakit. Perlindungan bahan tanam dengan fungisida hanya pada varietas rentan
didaerah endemik. ⁵Pengendalian gulma diawali pemetaan dan identifikasi
gulma dikebun PTPN X untuk menentukan cara pengendalian. Pengendalian berbagai
gulma merambat berdasarkan siklus waktu berbunga. Penentuan komposisi maupun
dosis herbisida dan waktu aplikasi herbisida yang tepat sehingga pemakaiannya
dapat ditekan serendah mungkin. Langkah-langkah tersebut merupakan peran PTPN X
sebagai bagian dari segitiga ekosistem untuk menjaga keseimbangan ekosistem
sehingga kesuburan tanah, gangguan OPT, dan pertumbuhan tanaman tebu dapat
optimal dalam jangka waktu yang panjang.
Sistem
pertanian berkelanjutan didefinisikan sebagai suatu sistem pertanian yang
memanfaatkan sumberdaya yang dapat diperbarui (renewable resources)
dan sumberdaya yang tidak dapat diperbarui (unrenewable resources)
dalam rangkaian proses produksi pertanian dengan menekan dampak negatif
terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang dimaksud, meliputi
penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya.
Proses produksi pertanian yang berkelanjutan akan lebih mengarah pada
penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan (Kasumbogo, 1997). Pertanian
berkelanjutan telah dilaksanakan di kebun PTPN X dengan tujuan mewujudkan peningkatkan
produktivitas secara berkelanjutan sesuai kaidah pengelolaan sumberdaya alam
dan lingkungan hidup dengan prinsip meminimalkan penggunaan bahan-bahan kimia
sintetik seperti pupuk kimia, herbisida kimia sintetik maupun pestisida kimia
sintetik. Penggunaan bahan kimia sintetik dalam pertanian memiliki beberapa
efek negatif bagi lingkuangan, salah satu efek negatif tersebut adalah
menggangu keseimbangan ekosistem yang ada. Menurut Flint
L. M dan
Van den Bosch. R,
(2000). Ekosistem adalah kesatuan komonitas bersama-sama dengan
sistem abiotik yang
mendukungnya. Sebagai contoh adalah ekosistem pertanian sawah dibentuk
oleh komonitas makluh hidup
bersama-sama dengan tanah,
air, udara dan unsur-unsur
fisik lain yang terdapat
di sawah tersebut.
Konsep ekosistem, seperti konsep
biofer menekankan hubungan dan
saling ketergantungan yang tetap
antara faktor-faktor hidup
dan tak hidup
di setiap lingkungan. Perwujudan
pertanian berkelanjutan di PTPN X dilakukan dengan;
I.
Menjaga Keseimbangan Ekositem Dalam Tanah
Penggunaan pupuk
anorganik (pupuk kimia)
dalam jangka panjang
menyebabkan kadar bahan organik
tanah menurun, struktur tanah rusak, dan pencemaran lingkungan. Hal ini jika
terus berlanjut akan menurunkan
kualitas tanah dan
kesehatan lingkungan. Untuk
menjaga dan meningkatkan produktivitas
tanak diperlukan kombinasi
pupuk anorganik dengan
pupuk organik yang tepat
(Isnaini, 2006). PTPN X telah melakukan berbagai usaha mengembalikan bahan
organik di tanah untuk menjaga kesuburan tanah dan menjaga ekosistem di dalam
tanah, usaha tersebut antara lain dengan melakukan trash management dengan
mengembalikan sisa bahan tanam ke lahan seperti daduk dan seresah. Selain
pengembalian seresah PTPN X mengembalikan blotong, abu ketel dan pemberian bio
kompos di lahan HGU PTPN X. Hasil sampingan industri gula berupa blotong,
ampas, abu ketel, serta seresah berpotensi besar dimanfaatkan sebagai sumber
bahan organik. Mulyadi (2000) menyatakan bahwa pemberian blotong dapat
berpengaruh nyata terhadap peningkatan fase vegetatif tebu. Unsur P merupakan
salah satu unsur hara yang penting bagi tanaman, begitu juga untuk tanaman tebu
(Saccharum officinarum L.).
Menurut Mulyono (2009),
unsur P dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan tanaman, baik perakaran, anakan,
panjang batang dan besarnya ruas-ruas batang tanaman tebu. Namun unsur P
merupakan unsur yang sulit tersedia bagi tanamanmeskipun dalam tanah jumlahnya
banyak. Menurut Hanafiah (2010), ketersediaan P dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang meliputi komposisi pelikat tanah, pH tanah, kandungan liat dan
kandungan bahan organik. Bahan organik memiliki peran penting dalam
meningkatkan ketersediaan unsur P dalam tanah. Hal ini karena kandungan yang
terdapat dalam bahan organik mampu membebaskan unsur hara P dari jerapan Al dan
Fe sehingga tersedia bagi tanaman. Menurut Hanafiah (2010), penambahan bahan organik dapat meningkatkan
ketersediaan P dalam tanah. Permasalahan yang terdapat di lapang adalah
ketersediaan unsur hara P yang terkandung dalam tanah rendah. Rendahnya
ketersediaan unsur hara P bagi tanaman dapat menghambat pertumbuhan tebu.
II.
Menerapkan Masa Tanam Optimal
Menurut Djojosoewardhono (1989) penentuan masa
tanam tebu disesuaikan
dengan iklim. Lokasi dengan
sifat iklim yang
terlalu basah sepanjang tahun
dapat dilakukan penanaman
pada saat menjelang
musim kemarau atau pada bulan Mei –
Agustus (masa tanam A), sedangkan
untuk lokasi dengan
sifat iklim yang relatif
kering sepanjang tahun
penanaman dilaksanakan pada awal musim kemarau atau pada bulan Oktober
– Desember (masa
tanam B). Penanaman menjelang
musim kemarau dapat pula dilakukan
untuk lokasi dengan
pengairan yang baik. Masa
tanam yang tepat bermanfaat
untuk mendapatkan produktifitas tinggi. Pada HGU PTPN X masa tanam dilakukan dengan
pola A dengan harapan dapat mencapai potensi produksi maksimal. Tanaman tebu
dengan pola B yang ditanam pada awal musim penghujan memiliki resiko cekaman
air terutama kebun dengan drainase yang jelek. Drainase yang
buruk menyebabkan dampak yang
tidak menguntungkan terhadap perkembangan akar
tanaman tebu. Akar
akan berkembang secara horizontal
sehingga sangat peka terhadap kekeringan sewaktu tanaman muda dan karena
tanah kekurangan oksigen pada musim hujan
akar segera membusuk,
peka terhadap penyakit terutama
bakteorosis dan kemudian berlanjut pada
kematian pada tebunya (Pamenan,
et. al,
1989). Tebu merupakan
tanaman yang menghendaki air
yang cukup banyak.Kebutuhan air (irigasi)
untuk tebu berbanding
lurus dengan sifat fase
pertumbuhan karena tanaman
ini memerlukan air yang
cukup banyak pada
awal sampai dengan pertengahan
waktu biologis pertumbuhan. Setelah
itu,pada fase kemasakan menghendaki kebutuhan air yang
sangat sedikit.
III.
Penggunaan Agensia Hayati
Anonim (
2002), menyatakan bahwa pengendalian
hayati adalah pengendalian serangga
hama dengan cara biologi,
yaitu dengan memanfaatkan musuh-musuh alaminya
(agen pengendali biologi), seperti
predator, parasit dan patogen.. Pengendalian hayati di PTPN X diwujudkan dengan penggunaan agensia hayati Trichograma sp, Cotesia flavipes dan lalat jatiroto. Trichograma sp digunakan sebagai parasit
telur penggerek. Trichograma chilonis
sebagai parasit telur penggerek batang dan Trichograma
japonicum sebagai parasit telur penggerek pucuk . Cotesia flavipes dan lalat jatiroto digunakan sebagai parasitoid
larva penggerek. Cotesia flavipes
digunakan sebagai parasitoid pada larva Chilo
Sacchariphagus sedangkan lalat jatiroto untuk chilo auricilius walaupun dilapangan sering ditemukan ulat Chilo Sacchariphagus terparasit lalat
jatiroto.
Menurut Jumar
(2000). Pengendalian hayati memiliki
keuntungan yaitu : (1).
Aman artinya tidak menimbulkan pencemaran
lingkungan dan keracunan pada
manusia dan ternak, (2).
tidak menyebabkan resistensi
hama, (3). Musuh alami bekerja
secara selektif terhadap inangnya
atau mangsanya, dan (4). Bersifat permanen untuk jangka waktu
panjang lebih murah,
apabila keadaan lingkungan telah
stabil atau telah
terjadi keseimbangan antara hama
dan musuh alaminya.
IV.
Pengelolaan Penyakit
Menanam varietas tahan adalah cara
terbaik untuk mengontrol penyakit. Sebagai contoh varietas yang tahan telah
tersedia dan digunakan untuk mengendalikan wabah smut di beberapa negara,
termasuk Australia, sehingga luka api tidak berkembang di perkebunan tebu
(Queensland) hingga 2006. Bahan tanam bebas penyakit biasanya dapat diperoleh
dengan melakukan treatment air panas. Namun, treatment air panas mungkin tidak
praktis dalam skala besar dan keefektifannya mungkin berbeda pada beberapa
varietas. Pada beberapa negara dengan biaya tenaga kerja yang murah, upaya
rouging untuk mengeluarkan tanaman terinfeksi luka api pada kebun bibit sering
dilakukan akan tetapi upaya ini tidak efektif jika dilakukan pada kebun dalam
skala luas (Sundar, 2012). Penyakit
tanaman
merupakan hasil interaksi antara patogen,
inang, dan lingkungannya
yang dikenal dengan istilah
segitiga penyakit (disease triangle). Pada
kondisi alamiah telah
terjadi keseimbangan antara komponen-komponen tersebut sehingga tidak
terjadi ledakan (outbreak)
penyakit. Sebaliknya pada tumbuhan yang diusahakan menjadi tanaman budi
daya, campur tangan manusia melalui teknologi (pemilihan
varietas, pemupukan, kultur teknis
lain) sering mengakibatkan
gangguan keseimbangan alam dan
menimbulkan ledakan
hama/penyakit yang cukup
serius. Komponen keempat yaitu
manusia berinteraksi dengan
tiga komponen penyakit tersebut
yang dikenal dengan istilah segi empat penyakit (disease
square). Pengendalian pengendalian penyakit secara terpadu dilakukan PTPN X
dalam pengendalian luka api, kegiatan pengendalian dilakukan dengan
memperhatikan faktor interkasi patogen, inang, manusia dan lingkungan yang
dikenal dengan segiempat penyakit. Hal ini diwujudkan dengan menggunakan varietas tahan di daerah endemik,
pembibitan berjenjang dan terencana, Perlakuan air panas pada Kebun bibit
nenek. Pengunaan bibit lolos uji
sertifikasi, dan penghilangan sumber inokulum dengan eradikasi tanaman
terinfeksi. Penggunaan varietas tahan di daerah endemik bertujuan menghambat
pertumbuhan penyakit luka api sehingga laju perkembangan penyakit akan
terhambat. Pembibitan berjenjang dan terencana bertujuan menyediakan bibit
dengan varietas dan umur sesuai kebutuhan tanam sehingga varietas tahan luka
api dapat tersedia. Perlakuan air panas pada kebun bibit nenek, penggunaan
bibit bersertifikat dan eradikasi
tanaman terinfeksi luka api terutama pada kebun bibit sebagai usaha
penghilangan sumber inokulum yang bertujuan mengurangi jumlah patogen, jumlah
patogen terutama pada bibit tingkat tinggi sangat mempengaruhi jumlah patogen
yang berada pada kebun bibit tingkat bawah dan tebu giling. Patogen merupakan
salah satu bagian dari segiempat penyakit, dengan meminimalisir jumlah patogen
diharapkan laju pertumbuhan penyakit luka api akan
terhambat.
V. Pengendalian Gulma
Prinsip utama
dalam pengendalian gulma pada
budidaya tanaman ialah menekan populasi gulma
sebelum merugikan tanaman. Penundaan pengendalian gulma
sampai gulma berbunga akan
memberikan kesempatan gulma untuk
berkembangbiak dan penyebaran gulma
pada lahan budidaya (Puspitasari et
al., 2013). Hendrival
et al (2014), menyatakan
bahwa untuk memperoleh kualitas
maupun kuantitas produksi secara
maksimal pengendalian gulma perlu
diperhatikan dan frekuensi pengendalian gulma
tergantung pada pertumbuhan gulma
di lahan budidaya. Penyiangan gulma
dilakukan untuk membersihkan tanaman
dari gulma yang dapat
mengganggu proses pertumbuhan tanaman sehingga
tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal. Marliah
et al (2010), menyatakan
bahwa kerugian pengendalian gulma
dengan metode penyiangan membutuhkan
waktu, tenaga dan biaya
yang tinggi. Namun
kerugian metode pengendalian gulma
dengan penyiangan dapat dikurangi dengan metode pengendalian gulma
dengan cara aplikasi herbisida. Efektivitas suatu
herbisida sangat ditentukan oleh
cara aplikasi dan perhitungan kebutuhan
herbisida persatuan luas (Wardoyo
2002) Namun demikian, pengunaan
herbisida secara luas perlu
mempertimbangkan dampak
negatifnya terhadap lingkungan, organisme bukan
sasaran, keragaman hayati serta
resistensi gulma terhadap herbisida (Zoschke
1994, Clarke 2002, Marshall 2002,
Zhang et al.
1995, Heap, 1999, Moss,
2002 dalam Hasanuddin, 2003). Dalam rangka mengurangi
pemakaian herbisida PTPN X melakukan pengendalian gulma secara terpadu dengan
diawali pemataan gulma berdasarkan dominansi, tingkat kerugian dan jenis gulma
yang terdapat di kebun PTPN X, dengan langkah tersebut maka keefektifitasan herbisida dapat
dimaksimalkan sehingga pemakaian herbisida dapat terkontrol.
VI. Kesimpulan
Langkah-langkah
tersebut diatas merupakan peran PTPN X sebagai bagian dari segitiga ekosistem
untuk menjaga keseimbangan ekosistem, dengan keseimbangan ekosistem maka
suistabilitas produktifitas yang diharapkan PTPN X dapat terwujud.
VII. Daftar Pustaka
Anonim, 2002. Model Budidaya tanaman Sehat (
Budidaya Tanaman Sayuran Secara Sehat Melalui Penerapan PHT), Dirjen
Perlindungan Tanaman. Jakarta
A.
Ramesh Sundar, E. Leonard Barnabas, P. Malathi and R. Viswanathan (2012). A MiniReview on Smut Disease of Sugarcane
Caused by Sporisorium scitamineum, Botany, Dr. John Mworia (Ed.), ISBN:
978-953-51-0355-4, InTech
Djojosoewardhono,
S. A. 1989.
Peranan tebu dan faktor
lingkungan tumbuh terhadap
tingkat produktivitas bagi tebu
di lahan kering. Pasuruan (ID) : Prosiding Seminar
Budidaya Lahan Kering. Pasuruan
Hanafiah, K.A. 2010. Dasar-dasar ilmu tanah.PT Raja
Grafindo persada.jakarta.
Hasanuddin. 2003. Hasil
tanaman kedelai dan pola
persistensi akibat herbisida clomazone dan
pendimethalin bervariasi
dosis pada kultivar
argo mulyo dan wilis.
Disertasi. Program
Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bandung
Isnaini, M. 2006. Pertanian Organik. Kreasi Wacana.
Yogyakarta. Hal 247-248.
Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Rineka Cipta.
Jakarta
Mulyadi, M. 2000. Kajian pemberian blotong dan abu
ketel pada tanah kandiudoxs pelaihari dalam upaya memperbaiki sifat kimia
tanah, serapan N,Si, P dan S serta pertumbuhan tebu. Tesis Institut Pertanian
Bogor.
Mulyono,
D. 2009. Evaluasi kesesuaian lahan dan arahan pemupukan N,P dan K dalam
budidaya tebu untuk pengembangan daerah Kabupaten Tulungagung. Jurnal Sains dan
Teknologi Indonesia.11(1): 47-53.
Nirmala,
Lagiman, D. Kastono,
S. Virgawati& A. W.
Rizain (eds.) Prosiding
Seminar Nasional Budidaya Olah
Tanah Konservasi.
Yogyakarta, 30 Juli
2002. hal. V:1-18.
Pamenan,
S. B., D.
Siahaan, Lannita. 1989.Pengembangan Tebu
Lahan Kering. Pasuruan (ID) :
Prosiding Seminar Budidaya Lahan Kering. 615 – 627.
Wardoyo, S.S.
2002. Aplikasi herbisida pada lahan
pertanian melalui sistem olah tanah
konservasi (otk) untukmendukung ketahanan
pangan. Dalam: S. Hardiastuti,
E. K., E. M.