Pages

Thursday 6 December 2018

Implementasi Pertanian Berkelanjutan di PTPN X Untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem Dan Meningkatkan Produktivitas


Implementasi Pertanian Berkelanjutan di PTPN X Untuk  Menjaga Keseimbangan Ekosistem Dan Meningkatkan Produktivitas
Oleh : Dita Widi Atmaja

Abstrak
PTPN X menerapkan pertanian berkelanjutan dalam rangka mewujudkan peningkatkan produktivitas secara berkelanjutan sesuai kaidah pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Wujud nyata tersebut antara lain; ¹Menjaga keseimbangan ekositem dalam tanah dengan pengembalian sisa tanaman seperti seresah, daduk tebu, blotong, abu ketel dan pemberian biokompos untuk menjaga kesuburan tanah. ²Menerapkan masa tanam optimal dengan harapan lingkungan dapat memenuhi kebutuhan tanaman secara optimal. ³Penggunaan agensia hayati Trichograma sp, Cotesia flavipes dan lalat jatiroto untuk mengendalikan hama penggerek tebu serta metarizium sebagai pengendali uret. Pengendalian penyakit dengan menggunakan varietas tahan, tidak menanam varietas rentan penyakit di daerah endemik penyakit dimaksud, pembibitan berjenjang yang terencana untuk menjaga kemurnian dan kesehatan bibit, Perlakuan air panas pada KBN untuk mengeliminasi berbagai penyakit. Pengunaan kebun bibit yang lolos uji sertifikasi, penghilangan sumber inokulum dengan eradikasi tanaman terinfeksi penyakit. Perlindungan bahan tanam dengan fungisida hanya pada varietas rentan didaerah endemik. Pengendalian gulma diawali pemetaan dan identifikasi gulma dikebun PTPN X untuk menentukan cara pengendalian. Pengendalian berbagai gulma merambat berdasarkan siklus waktu berbunga. Penentuan komposisi maupun dosis herbisida dan waktu aplikasi herbisida yang tepat sehingga pemakaiannya dapat ditekan serendah mungkin. Langkah-langkah tersebut merupakan peran PTPN X sebagai bagian dari segitiga ekosistem untuk menjaga keseimbangan ekosistem sehingga kesuburan tanah, gangguan OPT, dan pertumbuhan tanaman tebu dapat optimal dalam jangka waktu yang panjang.


Sistem pertanian berkelanjutan didefinisikan sebagai suatu sistem pertanian yang memanfaatkan sumberdaya yang dapat diperbarui (renewable resources) dan sumberdaya yang tidak dapat diperbarui (unrenewable resources) dalam rangkaian proses produksi pertanian dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang dimaksud, meliputi penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan (Kasumbogo, 1997). Pertanian berkelanjutan telah dilaksanakan di kebun PTPN X dengan tujuan mewujudkan peningkatkan produktivitas secara berkelanjutan sesuai kaidah pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dengan prinsip meminimalkan penggunaan bahan-bahan kimia sintetik seperti pupuk kimia, herbisida kimia sintetik maupun pestisida kimia sintetik. Penggunaan bahan kimia sintetik dalam pertanian memiliki beberapa efek negatif bagi lingkuangan, salah satu efek negatif tersebut adalah menggangu keseimbangan ekosistem yang ada. Menurut  Flint  L.  M  dan  Van  den Bosch.  R,  (2000).  Ekosistem  adalah kesatuan komonitas bersama-sama dengan sistem  abiotik  yang  mendukungnya. Sebagai contoh adalah ekosistem pertanian sawah  dibentuk  oleh  komonitas  makluh hidup  bersama-sama  dengan  tanah,  air, udara  dan  unsur-unsur  fisik  lain  yang terdapat  di  sawah  tersebut.   Konsep ekosistem,  seperti  konsep  biofer menekankan  hubungan  dan  saling ketergantungan  yang  tetap  antara  faktor-faktor  hidup  dan  tak  hidup  di  setiap lingkungan. Perwujudan pertanian berkelanjutan di PTPN X dilakukan dengan;

I. Menjaga Keseimbangan Ekositem Dalam Tanah

Penggunaan  pupuk  anorganik  (pupuk  kimia)  dalam  jangka  panjang  menyebabkan  kadar bahan organik tanah menurun, struktur tanah rusak, dan pencemaran lingkungan. Hal ini jika terus berlanjut  akan  menurunkan  kualitas  tanah  dan  kesehatan  lingkungan.  Untuk  menjaga  dan meningkatkan  produktivitas  tanak  diperlukan  kombinasi  pupuk  anorganik  dengan  pupuk  organik yang tepat (Isnaini, 2006). PTPN X telah melakukan berbagai usaha mengembalikan bahan organik di tanah untuk menjaga kesuburan tanah dan menjaga ekosistem di dalam tanah, usaha tersebut antara lain dengan melakukan trash management dengan mengembalikan sisa bahan tanam ke lahan seperti daduk dan seresah. Selain pengembalian seresah PTPN X mengembalikan blotong, abu ketel dan pemberian bio kompos di lahan HGU PTPN X. Hasil sampingan industri gula berupa blotong, ampas, abu ketel, serta seresah berpotensi besar dimanfaatkan sebagai sumber bahan organik. Mulyadi (2000) menyatakan bahwa pemberian blotong dapat berpengaruh nyata terhadap peningkatan fase vegetatif tebu. Unsur P merupakan salah satu unsur hara yang penting bagi tanaman, begitu juga untuk tanaman tebu (Saccharum officinarum L.).


Menurut Mulyono (2009), unsur P dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan tanaman, baik perakaran, anakan, panjang batang dan besarnya ruas-ruas batang tanaman tebu. Namun unsur P merupakan unsur yang sulit tersedia bagi tanamanmeskipun dalam tanah jumlahnya banyak. Menurut Hanafiah (2010), ketersediaan P dipengaruhi oleh beberapa faktor yang meliputi komposisi pelikat tanah, pH tanah, kandungan liat dan kandungan bahan organik. Bahan organik memiliki peran penting dalam meningkatkan ketersediaan unsur P dalam tanah. Hal ini karena kandungan yang terdapat dalam bahan organik mampu membebaskan unsur hara P dari jerapan Al dan Fe sehingga tersedia bagi tanaman. Menurut Hanafiah (2010), penambahan bahan organik dapat meningkatkan ketersediaan P dalam tanah. Permasalahan yang terdapat di lapang adalah ketersediaan unsur hara P yang terkandung dalam tanah rendah. Rendahnya ketersediaan unsur hara P bagi tanaman dapat menghambat pertumbuhan tebu.

II. Menerapkan Masa Tanam Optimal
Menurut  Djojosoewardhono  (1989) penentuan  masa  tanam  tebu  disesuaikan  dengan iklim.  Lokasi  dengan  sifat  iklim  yang  terlalu basah  sepanjang  tahun  dapat  dilakukan  penanaman  pada  saat  menjelang  musim  kemarau  atau pada bulan Mei    Agustus (masa tanam A), sedangkan  untuk  lokasi  dengan  sifat  iklim  yang relatif  kering  sepanjang  tahun  penanaman dilaksanakan pada awal musim kemarau atau pada bulan  Oktober    Desember  (masa  tanam  B). Penanaman menjelang musim kemarau dapat pula dilakukan  untuk  lokasi  dengan  pengairan  yang baik.  Masa  tanam  yang  tepat  bermanfaat  untuk mendapatkan produktifitas tinggi.  Pada HGU PTPN X masa tanam dilakukan dengan pola A dengan harapan dapat mencapai potensi produksi maksimal. Tanaman tebu dengan pola B yang ditanam pada awal musim penghujan memiliki resiko cekaman air terutama kebun dengan drainase yang jelek. Drainase  yang  buruk  menyebabkan dampak  yang  tidak  menguntungkan  terhadap perkembangan  akar  tanaman  tebu.  Akar  akan berkembang  secara  horizontal  sehingga sangat peka terhadap kekeringan sewaktu tanaman muda dan karena tanah kekurangan oksigen pada musim hujan  akar  segera  membusuk,  peka  terhadap penyakit  terutama  bakteorosis  dan  kemudian berlanjut  pada  kematian pada tebunya  (Pamenan, et.  al,  1989).  Tebu  merupakan  tanaman  yang menghendaki  air  yang  cukup  banyak.Kebutuhan air  (irigasi)  untuk  tebu  berbanding  lurus  dengan sifat  fase  pertumbuhan  karena  tanaman  ini memerlukan  air  yang  cukup  banyak  pada  awal sampai  dengan  pertengahan  waktu  biologis pertumbuhan.  Setelah  itu,pada  fase  kemasakan menghendaki kebutuhan air yang sangat sedikit.

III. Penggunaan Agensia Hayati
Anonim  (  2002),  menyatakan bahwa  pengendalian  hayati  adalah pengendalian  serangga  hama  dengan  cara biologi,  yaitu  dengan  memanfaatkan musuh-musuh  alaminya  (agen  pengendali biologi),  seperti  predator,  parasit  dan patogen.. Pengendalian hayati di PTPN X diwujudkan dengan penggunaan agensia hayati Trichograma sp, Cotesia flavipes dan lalat jatiroto. Trichograma sp digunakan sebagai parasit telur penggerek. Trichograma chilonis sebagai parasit telur penggerek batang dan Trichograma japonicum sebagai parasit telur penggerek pucuk . Cotesia flavipes dan lalat jatiroto digunakan sebagai parasitoid larva penggerek. Cotesia flavipes digunakan sebagai parasitoid pada larva Chilo Sacchariphagus sedangkan lalat jatiroto untuk chilo auricilius walaupun dilapangan sering ditemukan ulat Chilo Sacchariphagus terparasit lalat jatiroto.


Menurut   Jumar  (2000). Pengendalian  hayati  memiliki  keuntungan yaitu  :  (1).  Aman  artinya  tidak menimbulkan  pencemaran  lingkungan dan  keracunan  pada  manusia  dan  ternak, (2).  tidak  menyebabkan  resistensi  hama, (3). Musuh  alami  bekerja  secara  selektif terhadap  inangnya  atau  mangsanya,  dan (4). Bersifat permanen untuk jangka waktu panjang  lebih  murah,   apabila  keadaan lingkungan  telah  stabil  atau  telah  terjadi keseimbangan  antara  hama  dan  musuh alaminya.

IV. Pengelolaan Penyakit
Menanam varietas tahan adalah cara terbaik untuk mengontrol penyakit. Sebagai contoh varietas yang tahan telah tersedia dan digunakan untuk mengendalikan wabah smut di beberapa negara, termasuk Australia, sehingga luka api tidak berkembang di perkebunan tebu (Queensland) hingga 2006. Bahan tanam bebas penyakit biasanya dapat diperoleh dengan melakukan treatment air panas. Namun, treatment air panas mungkin tidak praktis dalam skala besar dan keefektifannya mungkin berbeda pada beberapa varietas. Pada beberapa negara dengan biaya tenaga kerja yang murah, upaya rouging untuk mengeluarkan tanaman terinfeksi luka api pada kebun bibit sering dilakukan akan tetapi upaya ini tidak efektif jika dilakukan pada kebun dalam skala luas (Sundar, 2012). Penyakit  tanaman  merupakan  hasil  interaksi antara  patogen,  inang,  dan  lingkungannya  yang dikenal  dengan  istilah  segitiga  penyakit  (disease triangle).  Pada  kondisi  alamiah  telah  terjadi keseimbangan  antara  komponen-komponen  tersebut sehingga  tidak  terjadi  ledakan  (outbreak)  penyakit. Sebaliknya pada tumbuhan yang diusahakan menjadi tanaman budi daya, campur tangan  manusia  melalui teknologi  (pemilihan  varietas,  pemupukan,  kultur teknis  lain)  sering  mengakibatkan  gangguan keseimbangan  alam  dan  menimbulkan  ledakan hama/penyakit  yang  cukup  serius.  Komponen keempat  yaitu  manusia  berinteraksi  dengan  tiga komponen  penyakit  tersebut  yang  dikenal  dengan istilah segi empat penyakit (disease square). Pengendalian pengendalian penyakit secara terpadu dilakukan PTPN X dalam pengendalian luka api, kegiatan pengendalian dilakukan dengan memperhatikan faktor interkasi patogen, inang, manusia dan lingkungan yang dikenal dengan segiempat penyakit. Hal ini diwujudkan dengan  menggunakan varietas tahan di daerah endemik, pembibitan berjenjang dan terencana, Perlakuan air panas pada Kebun bibit nenek. Pengunaan bibit  lolos uji sertifikasi, dan penghilangan sumber inokulum dengan eradikasi tanaman terinfeksi. Penggunaan varietas tahan di daerah endemik bertujuan menghambat pertumbuhan penyakit luka api sehingga laju perkembangan penyakit akan terhambat. Pembibitan berjenjang dan terencana bertujuan menyediakan bibit dengan varietas dan umur sesuai kebutuhan tanam sehingga varietas tahan luka api dapat tersedia. Perlakuan air panas pada kebun bibit nenek, penggunaan bibit bersertifikat dan  eradikasi tanaman terinfeksi luka api terutama pada kebun bibit sebagai usaha penghilangan sumber inokulum yang bertujuan mengurangi jumlah patogen, jumlah patogen terutama pada bibit tingkat tinggi sangat mempengaruhi jumlah patogen yang berada pada kebun bibit tingkat bawah dan tebu giling. Patogen merupakan salah satu bagian dari segiempat penyakit, dengan meminimalisir jumlah patogen diharapkan laju pertumbuhan penyakit luka api akan
terhambat. 



V. Pengendalian Gulma

Prinsip  utama  dalam  pengendalian gulma  pada  budidaya  tanaman  ialah menekan populasi  gulma  sebelum merugikan  tanaman.  Penundaan pengendalian  gulma  sampai  gulma berbunga  akan  memberikan  kesempatan gulma  untuk  berkembangbiak  dan penyebaran  gulma  pada  lahan  budidaya (Puspitasari  et  al.,  2013).  Hendrival  et  al (2014),  menyatakan  bahwa  untuk memperoleh  kualitas  maupun  kuantitas produksi  secara  maksimal  pengendalian gulma  perlu  diperhatikan  dan  frekuensi pengendalian  gulma  tergantung  pada pertumbuhan  gulma  di  lahan  budidaya. Penyiangan  gulma  dilakukan  untuk membersihkan  tanaman  dari  gulma  yang dapat  mengganggu  proses  pertumbuhan tanaman  sehingga  tanaman  dapat  tumbuh dan berkembang dengan optimal. Marliah et al  (2010),  menyatakan  bahwa  kerugian pengendalian  gulma  dengan  metode penyiangan  membutuhkan  waktu,  tenaga dan  biaya  yang  tinggi.  Namun  kerugian metode  pengendalian  gulma  dengan penyiangan dapat dikurangi dengan metode pengendalian  gulma  dengan  cara  aplikasi herbisida. Efektivitas  suatu  herbisida  sangat ditentukan  oleh  cara  aplikasi  dan perhitungan  kebutuhan  herbisida persatuan  luas  (Wardoyo  2002) Namun  demikian,  pengunaan  herbisida secara  luas  perlu  mempertimbangkan dampak  negatifnya  terhadap  lingkungan, organisme  bukan  sasaran,  keragaman hayati  serta  resistensi  gulma  terhadap herbisida  (Zoschke  1994,  Clarke  2002, Marshall  2002,  Zhang  et  al.  1995,  Heap, 1999,  Moss,  2002  dalam  Hasanuddin, 2003). Dalam rangka mengurangi pemakaian herbisida PTPN X melakukan pengendalian gulma secara terpadu dengan diawali pemataan gulma berdasarkan dominansi, tingkat kerugian dan jenis gulma yang terdapat di kebun PTPN X, dengan langkah tersebut maka keefektifitasan herbisida dapat dimaksimalkan sehingga pemakaian herbisida dapat terkontrol.


VI. Kesimpulan
Langkah-langkah tersebut diatas merupakan peran PTPN X sebagai bagian dari segitiga ekosistem untuk menjaga keseimbangan ekosistem, dengan keseimbangan ekosistem maka suistabilitas produktifitas yang diharapkan PTPN X dapat terwujud.

VII. Daftar Pustaka
Anonim, 2002. Model Budidaya tanaman Sehat ( Budidaya Tanaman Sayuran Secara Sehat Melalui Penerapan PHT), Dirjen Perlindungan Tanaman. Jakarta
A. Ramesh Sundar, E. Leonard Barnabas, P. Malathi and R. Viswanathan (2012). A MiniReview on Smut Disease of Sugarcane Caused by Sporisorium scitamineum, Botany, Dr. John Mworia (Ed.), ISBN: 978-953-51-0355-4, InTech

Djojosoewardhono,  S.  A.  1989.  Peranan  tebu  dan faktor  lingkungan  tumbuh  terhadap  tingkat produktivitas  bagi  tebu  di  lahan  kering. Pasuruan (ID) : Prosiding Seminar Budidaya Lahan Kering. Pasuruan
Hanafiah, K.A. 2010. Dasar-dasar ilmu tanah.PT Raja Grafindo persada.jakarta.
Hasanuddin.  2003.   Hasil  tanaman  kedelai dan  pola  persistensi  akibat  herbisida clomazone  dan  pendimethalin bervariasi  dosis  pada  kultivar  argo mulyo  dan  wilis.  Disertasi.  Program Pascasarjana  Universitas  Padjajaran, Bandung
Isnaini, M. 2006. Pertanian Organik. Kreasi Wacana. Yogyakarta. Hal 247-248.
Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Rineka Cipta. Jakarta
Mulyadi, M. 2000. Kajian pemberian blotong dan abu ketel pada tanah kandiudoxs pelaihari dalam upaya memperbaiki sifat kimia tanah, serapan N,Si, P dan S serta pertumbuhan tebu. Tesis Institut Pertanian Bogor.
Mulyono, D. 2009. Evaluasi kesesuaian lahan dan arahan pemupukan N,P dan K dalam budidaya tebu untuk pengembangan daerah Kabupaten Tulungagung. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia.11(1): 47-53.
Nirmala, Lagiman,  D.  Kastono,  S.  Virgawati&  A. W.  Rizain  (eds.)   Prosiding   Seminar Nasional  Budidaya  Olah  Tanah Konservasi.  Yogyakarta,  30  Juli  2002. hal. V:1-18.
Pamenan,  S.  B.,  D.  Siahaan,  Lannita.  1989.Pengembangan  Tebu  Lahan  Kering. Pasuruan (ID) : Prosiding Seminar Budidaya Lahan Kering. 615 – 627.
Wardoyo,  S.S.  2002.  Aplikasi  herbisida pada  lahan  pertanian  melalui  sistem olah  tanah  konservasi  (otk)  untukmendukung  ketahanan  pangan.  Dalam: S.  Hardiastuti,  E.  K.,  E.  M.